Watak Pesantren Itu Mandiri

Sejak bulan Maret lalu Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI NU) atau asosiasi pesantren NU bergiat melatih kewirausahaan di sejumlah pesantren di Indonesia.

Kegiatan ini merupakan bagian dari semangat membangkitkan kemandirian ekonomi di kalangan santri, selain mengkader mereka menjadi insan berakhlak yang mengerti ilmu agama. Bagaimana pesantren menghadapi etos kewirausahaan ini? Apa potensi dan tantangannya?
Berikut wawancara Mahbib Khoiron dari NU Online dengan Ketua Pengurus Pusat RMI NU Amin Haedari di Jakarta beberapa waktu lalu.

Bagaimana hubungan pesantren dengan etos kewirausahaan?

Sebenarnya, watak asli pesantren itu ya mandiri, penuh dengan kewirausahaan, penuh dengan entrepreneurship. Jadi persoalan entrepreneurship, persoalan kewirausahaan di pesantren itu bukan hal yang baru. Memang sejak awal pesantren itu sebagai lembaga wirausaha, lembaga entrepreneurship. Dulu beberapa lembaga pesantren di beberapa daerah, di situ ada pesantren kemudian kiainya punya lahan, secara tidak langsung pesantrennya ikut terjun ke kebun, ikut ke kebon, ikut menanam tanaman.

Itu cara kiai mendidik para santrinya. Jadi saat mereka kembali masyarakat, mereka bisa berkebun, bisa bertani, berternak, dan sebagainya. Itu karena kiainya punya lahan.

Saya masih ingat waktu kecil dulu, santri-santri itu pergi ke sawah, nanem; ada kolam, kemudian santri ternak ikan, jadi ketika mereka kembali ke masyarakat dia bisa nanem polowijo, bisa ternak ikan.

Jadi memang aslinya pesantren itu ya tempat entrepreneur, wirausaha. Terus entah kenapa sekarang kok jadi berubah. Padahal kalau kembali ke aslinya pesantren itu ya entrepreneur. Santri-santrinya kan jarang dulu yang pegawai negeri. Kiainya pun juga tekun di situ: ngaji, dia punya lahan. Bahkan awal Islam masuk ke Indonesia kemudian berdiri pesantren-pesantren itu juga perdagangan di wilayah-wilayah pantai, itu juga usaha semua.

Kenapa berubah?

Sekarang ini pesantren kan makin banyak. Kalau dulu pesantren punya lahan banyak, sekarang karena keluargannya juga banyak akhirnya dibagi-bagi. Yang dulunya tempat pertanian sekarang sudah tidak ada lagi. Tidak mampu lagi bertani. Sudah berubah. Tapi sebetulnya, sekarang masih bisa karena entrepreneur itu bukan hanya di bidang pertanian saja.

Di bidang ketrampilan-ketrampilan lain masih sangat terbuka. Seperti bidang industri, ketrampilan di bidang mesin, pengelasan atau ketrampilan lain yang tidak memerlukan lahan luas, itu bisa sekarang. Karena sekarang ini kan kegiatan-kegiatan tidak mesti memiliki lahan yang luas, jadi sekarang harus diupayakan berubah. Mungkin industri jasa, bisa juga. Pertanian pun sekarang kalau menggunakan teknologi tinggi bisa juga; pertanian hidroponik, umpamanya, bisa di lapis-lapis tanah itu, tidak memerlukan tanah yang luas, teknologi semakin caggih. Pesantren harus mengikuti perkembangan-perkembangan seperti itu.

Potensi yang membangkitkan kewirausahaan pesantren itu apa?

Nah, potensi itu ada tiga. Pertama, kita potensi sosial. Bahwa pesantren itu punya masyarakat, punya penggemar, punya umat, punya jamaah, punya santri, sekaligus itu dapat dijadikan pelanggan. Itu potensi sosial yang luar biasa. Perusahaan-perusahaan itu kan bagaimana cara menarik customer sebanyak-banyaknya, nah pesantren udah punya itu. Bagiamana memanfaatkan jamaah, memanfaatkan alumni, memanfaatkan masyarakat. Yang kedua, pesantren mempunyai peluang di bidang ketrampilan. Ketrampilan itu harus ada. Ketrampilan itu yang harus ditingkatkan. Kalau potensi sosialnya sudah ada, potensi ketrampilannya sudah ada maka akan semakin mudah.

Dan yang ketiga, potensi yang datang dari luar. Ini menyangkut dengan modal. Tapi kalau di situ sudah ada ketrampilan, terutama SDM (sumber daya manusia)-nya, potensi sosialnya juga ada, maka otomatis ada yang mau memberikan modal ke situ. Ketiga-tiganya itu harus dikuasai, dan pesantren sudah punya itu. Paling tidak dua dari tiga ini. Nah, bagaimana kita menggait modal untuk membantu ekonomi pesantren. Ada macam-macam itu: ada yang bisa berbentuk hibah, potensi zakat potensi infaq, atau bisa kerjasama.

Yang sudah dilakukan RMI?

Kita sudah banyak melakukan sesuatu. Kalau di bidang entrepreneurship itu kita kerjasama dengan—baru-baru ini—Bank Mandiri untuk pengembangan usaha di lingkungan pondok-pondok pensantren, mulai dari pemodalannya, pelatihannya, tempat usahanya. Kemudian dengan Kementerian Agama juga sama, memberi pelatihan, pemodalan. Tapi lagi-lagi, yang harus ditingkatkan adalah potensi SDM dan ketrampilan di pondok-pondok pesantren. Karena kalau tidak ditingkatkan SDM dan ketrampilannya, seberapapun modal yang diberikan maka akan hilang dengan sendirinya. Karena soal permodalan, kalau pesantren itu sudah trampil, SDM-nya sudah kuat, potensi sosialnya juga sudah kuat, otomatis modal itu akan datang dengan sendrinya.

Apa tantangan pesantren untuk bangkit di dunia wirusaha?

Tantangannya lebih banyak pada mentalitas. Mentalitas entrepreneur harus terus ditingkatkan. Semangat untuk berjuang, semangat untuk melakukan kompetisi, itu yang harus ditingkatkan. Pesantren kan “tawadhu” itu, padahal kalau entrepreneur harus fight betul, siap bertarung, siap kompetisi. Mental semacam ini yang harus digerakkan. Kalau terlalu “tawadhu” juga kurang bagus di bidang wirausaha. Jadi tantangannya, kesiapan mental itu.

Yang kedua, perilaku-perilaku yang sekarang ini terkontaminasi denga sesuatu yang instan, pengen langsung jadi, lebih senang mendapatkan uang dengan menjadi jurkam saja daripada harus mikir-mikir pening. Ini kan kurang bagus karena akan menimbulkan kesulitan, ketika disodorkan bantuan usaha dan bantuan lokal, orang itu lebih senang memiliki bantuan lokal. Karena kalau bantuan usaha, orang itu harus mikir, harus kerja. Padahal dengan bantuan usaha ini mereka akan dapat membangun lokal. Jadi memang ada mental-mental yang ingin instan aja lah.

Bagaimana dengan ajaran pesantren selama ini?

Kita memang mesti terus melakukan sosialisasi, kemudian pelatihan-pelatihan, kemudian kita harus tidak mengesampingkan pihak-pihak luar bahwa sebetulnya Islam itu yang melatih kita harus sungguh-sungguh, bekerja keras. Semangat man jadda wajada kan di situ. Banyak juga base practice, Ibnu Hajar al-Asqalani dulu juga kan giat karena terinspirasi degan air yang menetes ke batu. Batunya keras, namun dengan tetesan terus-menerus akhirnya berlobang.

Jadi di situ kita tak boleh lelah untuk terus melakukan pembinaan-pembinaan, sehingga akan menggugah tingkat kesadaran mereka bahwa berwirausaha itu ya harus kerja keras. Memang nggak bisa satu dua kali bertemu lalu jadi entrepreneur. Itu nggak bisa. Itu harus berkali-kali sampai pada titik dia sadar betul. Samalah, di agama juga tidak serta-merta langsung sadar. Memang harus ada pembiasaan. Pembiasaan ini lah yang harus dilakukan oleh RMI dan segenap komponen NU, karena RMI tidak bekerja sendirian, masih ada lembaga pertanian (LPPNU, red), lembaga perekonomian (LPNU, red), ini kalau bersama-sama akan lebih bagus. Ada singkronisasi.

Selain di bidang wirausaha apa lagi yang dilakukan RMI?
Kita ini masuk di ranah yang kira-kira membantu pesantren. Kalau persoalan pengajian, itu urusan pesantren, persoalan-persoalan kaderisasi masuk di situ, yang mana pesantren terbatas di bidang itu.

Jadi RMI tidak ngajarin ngaji, tapi di bidang lain, di bidang sosial, di bidang ekonomi. Tapi ekonomi lebih banyak daripada sosial. Pemberdayaan santri, tapi lebih banyak ke ekonominya. Karena intinya di situ, kalau pesantren sudah kuat ekonominya akan berkembang, kalau ekonominya lemah, ya susah
Read More

Islam Dan Hak Azazi Manusia

Islam dan Hak Asasi Manusia Dalam Program Deradikalisasi Terorisme di Indonesia

Pendahuluan
Keberhasilan Kepolisian Republik Indonesia melalui Detasemen Khusus (Densus) 88 membongkar jaringan teroris berideologi Islam radikal di Indonesia[1] dan menangkap pelaku-pelakunya, menyebabkan Lembaga Pemasyarakatan yang ditangani Direktorat Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM dihadapkan pada permasalahan menampung tahanan dan narapidana tindak terorisme yang semakin bertambah.[2] Hal demikian lebih sulit lagi karena sedikit sekali yang dijatuhi hukuman mati,[3] sisanya hanya dijatuhi hukuman dalam hitungan tahun yang pada akhirnya akan kembali lagi di tengah masyarakat. Oleh karenanya, program pembinaan terhadap narapidana[4] terorisme menjadi penting sebagai bagian dari upaya counterterrorism atau perlawanan terhadap terorisme.

Tertangkapnya Aman Abdurrahman alias Oman Rahman di Kampung Panteneun, Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, jelas mempertegas terbangunnya struktur organisasi teroris baru di Indonesia yang berawal dari Lembaga Pemasyarakatan. Oman yang menjalani hukuman sebagai narapidana terorisme justru leluasa melakukan koordinasi jaringan terorisme dari dalam penjara dengan adanya sel baru jaringan terorisme yang berlatih militer di Nangroe Aceh Darussalam.[5] Kesadaran atas kondisi demikian menjadikan aparatur pemenjaraan nasional segera bertindak membaca momentum dengan mendesain ulang pola pembinaan bagi pelaku terorisme dalam proses deradikalisasi melalui program re-edukasi nilai-nilai kemanusiaan yang didukung dengan program reintegrasi sosial bagi narapidana terorisme dengan pendekatan agama.
Hal demikian dipengaruhi adanya narapidana terorisme selama berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan, beberapa di antara mereka memungkinkan untuk mempengaruhi para tahanan dan narapidana kriminal biasa agar dapat bergabung ke dalam aksi teror setelah bebas.[6] Hal tersebut tentu mendapatkan korelasi tinggi seiring dengan adanya perubahan-perubahan tekanan psikologis yang dihadapi narapidana biasa di dalam penjara. Perubahan drastis yang menjadikan lingkungan semakin menekan bagi narapidana, seperti kehilangan kebebasan fisik, kehilangan kelayakan hidup normal, dan terpaan gangguan psikologis akan menuntut mereka untuk mencari kebermaknaan hidup.[7] Di sinilah pentingnya program deradikalisasi dengan pendekatan Islam dan hak asasi manusia.


Islam dan Perdebatan Terorisme
Terorisme adalah suatu mazhab pemikiran atau kepercayaan yang dilakukan melalui pemaksaan kehendak dengan tindakan illegal yang mengarah pada penggunaan kekuatan atau kekerasan untuk mengintimidasi, melawan, bahkan membunuh, dalam pencapaian kepentingan tertentu.[8] Oleh karena itu, terorisme adalah bentuk khusus dari kekerasan yang dikarakterkan oleh adanya fungsi komunikasi dengan gerakan revolusi berstruktur di bawah tanah (underground), [9] dengan melakukan penyerangan terhadap objek vital masyarakat dan subversi politik nasional.
Terorisme adalah kegiatan yang bertujuan untuk mengintimidasi, membuat kepanikan, dan kehancuran dalam suatu masyarakat, yang bisa dilakukan baik secara personal atau kelompok dengan tujuan melawan pemerintah.[10] Beberapa term yang ada keterkaitannya dengan terorisme dalam Islam antara lain al-irhāb (irhābiyah), al-hirābah (perampokan), qati’u al-tāriq atau qutta’u al-tāriq (pembegal), al-baghyu (pemberontakan), al-‘unf (lawan dari lemah lembut).[11] Oleh karena itu, teror sebagai kata dasar dari terorisme, bersifat sangat subjektif.[12] Artinya, setiap orang memiliki batas ambang ketakutannya sendiri, dan secara subjektif menentukan apakah suatu peristiwa merupakan teror atau hanya peristiwa biasa. Akibatnya, suatu perisitwa teror bagi seseorang belum tentu merupakan teror bagi orang lain.
Menurut Konvensi PBB tahun 1997, terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas. Sementara dalam Peraturan Perundang-Undangan Nomor 1 Tahun 2002 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang berdasarkan UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dijelaskan bahwa terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia, serta merugikan kesejahteraan masyarakat.[13] Oleh karenanya, perlu dilakukan pemberantasan secara berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.
Dalam Islam, tindakan-tindakan kejahatan tersebut tentu sangat berlawanan dengan konteks jihad yang selama ini dijadikan dalik para pelaku terorisme. Para tersangka atau narapidana terorisme bukanlah individu yang memiliki tipe kepribadian khusus atau menyandang kelainan jiwa. Kalangan ini justru menampilkan karakteristik kepribadian yang normal, bukan psikopat. Oleh karena itu, tingkat radikalisme narapidana teroris berkaitan dengan keyakinan atau ideologinya masih memiliki peluang untuk dapat dikurangi atau diminimalisasi secara perlahan melalui perlakuan yang manusiawi, yaitu memenuhi hak asasinya, memperhatikan harga dirinya, dan menjaga keluarganya. Berbagai perlakuan dengan kekerasan hanya akan menguatkan identitas sosial tertentu[14] sehingga dendam akan semakin bertambah.
Pada konteks demikian, perlu membandingkan bahwa jihad bertujuan mengakhiri segala bentuk penganiayaan dan intimidasi dalam rangka menjamin terwujudnya perdamaian, agar setiap individu merasakan ketentraman dan mampu mengamalkan agamanya tanpa hambatan.[15] Oleh karena itu, jihad bertujuan juga untuk menjunjung tinggi kalimatullah serta mengamankan akidah, jiwa, harta, dan anak-anak sebagai implementasi konsep amar ma’rūf nahī munkar. Dalam hal ini, yang penting diperhatikan adalah bukan bagaimana memberantas kemunkarannya akan tetapi mencegah segala sesuatu yang dapat menimbulkan perbuatan munkar tersebut.
Pemahaman jihad banyak yang tidak difahami secara komprehensif dan cenderung mengadopsi konsep konservatif yakni semata-mata peperangan fisik melawan musuh yang tidak seide, sebagaimana definisi Imam Samudera. [16] Hal ini juga seperti pendapat Ali Imron yang melakukan aksi bom Bali sebagai pembalasan terhadap kaum kafir yang telah membunuh dan melakukan kesewenangan terhadap kaum muslim.[17] Balasan ini seperti kesewenangan peperangan di Palestina, Somalia, sudan, Afghanistan, Chechnya, Kashmir, Moro, dan Poso.


Memahami Akar Geneologi Terorisme di Indonesia
Maj. Gen. S. Mohindra dan Karl A. Seger menyatakan bahwa terorisme memiliki struktur organisasi yang sangat sederhana. Pelaku organisasi teroris itu terdiri dari pimpinan, kader aktif, pendukung aktif, dan pendukung pasif.[18] Dalam memahami pola organisasi teroris tersebut, International Crisis Group (ICG) wilayah Asia Tenggara telah menggambarkan akar generasi terorisme di Indonesia berawal dari spirit tersisa DI/TII, sebagaimana pendapat para peneliti seperti Al Chaidar, [19] Umar Abduh, [20] dan Wdjiono Wasis. [21]
Jawa Barat merupakan basis perjuangan Darul Islam (DI) dengan berdirinya Tentara Islam Indonesia (TII) yang pernah dibentuk oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo dari Malangbong, Garut, pada Pebruari 1948 akibat kekecewaan atas isi Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948.
Perjanjian Renville itu mengharuskan masyarakat, tentara Siliwangi, dan laskar bersenjata lain untuk mundur dari wilayah Jawa Barat menuju Yogyakarta, yang dalam perjanjian itu disebut garis Van Mook, yaitu garis batas wilayah Indonesia dengan Belanda sedangkan Jawa Barat pada saat itu dikuasai Belanda.[22] Keharusan hijrahnya tentara Siliwangi sebagai divisi militer kebanggaan rakyat Jawa Barat dan laskar-laskar bersenjata seperti Hizbullah dan Sabilillah yang dibentuk oleh Partai Masyumi, ditolak oleh banyak tokoh pergerakan termasuk Kartosoewiryo. Pada akhir 1948, ibu kota Yogyakarta diserang Belanda dan pemimpin nasional yang berkantor di sana ditangkap sehingga mengesankan kalau Republik Indonesia sudah tamat riwayatnya.
Maka Kartosoewiryo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus 1949 di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, dan menganggap bahwa Jawa Barat sebagai daerah de facto NII sehingga setiap pasukan atau kekuatan lain yang melewati wilayah itu dianggap melanggar kedaulatan, sehingga harus bergabung dengan TII atau dilucuti dan ditawan.[23] Hari deklarasi NII itu persis dengan keberangkatan Moh. Hatta ke Den Haag, Belanda, untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar. [24]
Perjuangan NII berakhir setelah Kartosoewiryo ditangkap pada 3 Juni 1962 melalui operasi pagar betis yang menyekat gerak langkah wilayah komunikasi gerilyawan dengan masyarakat. Maklumat penghentian gerakan juga dikeluarkan langsung oleh Kartosoewiryo pada 6 Juni 1962. Kartsoewiryo disidang Mahkamah Angkatan Darat dalam Keadaan Perang untuk Jawa dan Madura di Markas Besar TNI-AD yang ada di Gambir, dengan vonis hukuman mati, 5 September 1962.
Kematian Kartosoewiryo tidak menyurutkan gerakan dari pentolan eks Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia untuk tetap memperjuangkan Negara Islam Indonesia. Upaya meredam gerakan dilakukan Orde Baru terhadap mantan anggota DI/TII melalui Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) yang meminta keluarga Kartosoewiryo dan eks- DI/TII untuk menandatangani ikrar kembali ke pangkuan NKRI sebagai simbol gerakan DI/TII benar-benar telah selesai dan mengajak mantan anggota DI untuk memenangkan Golkar dalam Pemilu 1971. [25]
Banyak mantan anggota DI yang setuju mendukung Golkar, namun tidak sedikit juga yang menolak, sehingga melahirkan dua faksi. DI Fillah yang menolak ke jalan jihad oleh Djaja Sudjadi, Adah Djaelani Tirtapraja, Ateng Djaelani, dan Danu Muhammad Hasan. Sedangkan DI Fisabilillah yang masih tetap menghidupkan semangat Kartosoewiryo untuk mendirikan Negara Islam Indonesia dipimpin oleh Ahmad Sobari.
Dalam perkembangannya, masing-masing faksi dari DI Fillah dan DI Fisabilillah mengalami banyak pemisahan dari para pengikutnya. 1976, Adah Djaelani dilantik sebagai imam NII yang baru. Pada 1980-1982, banyak tokoh-tokoh neo NII masuk penjara karena adanya gerakan komando jihad (Komji) berupa intimidasi terhadap kelompok Islam yang belum menerima politik fusi Orde Baru. Pada 1984, perpecahan semakin menjadi di tubuh NII dengan terbentuknya banyak faksi, yaitu Jamaah Muslimin (Jamus) bentukan militer-PNI yang dipimpin Wali al-Fatah, RPII (Republik Persatuan Islam Indonesia) yang bermetamorfosis jadi Pesantren Hidayatullah oleh Abdullah Said, NII fillah yang nonstruktural, kelompok Ajengan Masduki, kelompok Asep Saiful, kelompok Abdullah Sungkar yang berubah menjadi Jamaah Islamiyah, kelompok Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) didirikan oleh Abdul Qadir Baraja, Kelompok KW 9 Abu Toto dan Ma’had Al-Zaytun, kelompok Helmy Aminuddin menjadi PKS, kelompok Ahmad Sobari yang berubah menjadi Lembaga Dakwah Thoriquna, kelompok Aceng Kurnia, kelompok Royanuddin yang berubah menjadi Liga Muslimin Indonesia. [26]
Dari sinilah gerakan NII dianggap menciptakan reinkarnasi gerakan-gerakan Islam radikal di Indonesia.


Tabel Proses Regenerasi NII


Tahun
Peristiwa
Tokoh

7 Agustus 1949
Deklarasi NII di Jawa Barat
SM Kartosoewiryo

1952
Penggabungan Sulawesi Selatan
Kahar Muzakkar

1953
Penggabungan Aceh
Daud Beureuh

3 Juni 1962
Penangkapan SM. Kartosoewiryo



6 Juni 1962
Maklumat penghentian gerakan NII



21 April 1971
Silaturrahim eks-NII di Bandung
Danu Muhammad H

1974
Pertemuan Mahoni eks-NII
3 pimpinan wilayah NII

1975
Pembentukan sayap NII, Fillah dan Fisabilillah, serta adanya Komando Jihad
DI Fillah oleh Djaja Sudjadi, Adah Djaelani, dan Danu Muhammad.

DI Fisabilillah oleh Ahmad Sobari

1980-1982
Operasi komando Jihad
BAKIN oleh Ali Moertopo

1984
Perpecahan dan regenerasi NII



Jamaah Muslimin
Wali AlFatah

Republik Persatuan Islam Indonesia
Abdullah Said melalui Pesantren Hidayatullah di Sulawesi

Jamaah Islamiyah (1 Januari 1993) sebagai kelanjutan kelompok Solo-Kudus
Oman Abdul Rahman, (komando 1) Abdullah Sungkar, Ba’asyir, Komando 2) Abu Jibril, Hambali, Abu Rusydan, Abu Dujana

MMI (1999)
Ba’asyir, Deliar Noer

KW 9
Abu Toto

PKS oleh Helmy Aminuddin bin Danu Muhammad yang diawali Jama’ah Tarbiyah pada 1991
Helmy dibina Soeripto belajar Ikhwanul Muslimin faksi Qiyadah Said Hawwa di Suriah, 1985



Liga Muslim Indonesia (1999)
Royanuddin, Sumargono



Regenerasi yang terus berjalan dari gerakan neo-NII telah menjadikan banyaknya tindak kekerasan yang selalu berdalih atas nama agama karena semakin tajamnya perbedaan dipertontonkan ke ruang publik. Kebangkitan perbedaan tersebut melahirkan stok martir terorisme tidak pernah surut, bahkan jaringan teroris baru selalu terbentuk dan tertangkap, sehingga menambah beban bagi negara dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana terorisme.
Deradikalisasi Terorisme Dari Balik Penjara Perspektif HAM
Peristiwa terbongkarnya terorisme dari balik penjara tentu berimplikasi pada pembangunan persepsi bahwa kalangan teroris memang sosok yang cerdas membaca momentum serta peluang. Persepsi ini tentu membawa perubahan paradigma kalau terorisme adalah bahaya laten yang sewaktu-waktu dapat muncul tanpa dapat diperkirakan. Keinginan Kementerian Hukum dan HAM untuk membangun penjara khusus teroris, seperti gagasan LP Sukamiskin menjadi sentral penjara bagi koruptor pada 2011, menjadi suatu keniscayaan. Sekurangnya memiliki dua alasan.
Pertama, menggelandang teroris seringkali membawa resiko pembinaan yang tidak sedikit, baik sesama narapidana maupun petugas penjara (LP atau Rumah Tahanan). Resiko yang muncul bisa bervariasi dari pengaruh dogma keagamaan yang menggiurkan surga terhadap penghuni sehingga dimungkinkan terjadinya sel jaringan teroris baru, hingga ancaman teror karena adanya jaringan yang belum teridentifikasi di luar penjara. Bahkan bisa jadi pembinaan menjadi sulit karena pemahaman keagamaan aparat penjara bisa didistorsi oleh narapidana teroris yang memiliki retorika buaian surga dan pengetahuan agama yang lebih. Dari sini, karantina penjara pidana umum bagi para pelaku terorisme mengalami ketidakefektifan sehingga penjara khusus teroris dapat dibuat sebagaimana LP Narkotika yang telah berdiri di berbagai kota, seperti Jakarta, Cirebon, Medan, dan Jawa Timur.
UU Nomor 12/1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan mengatur tentang upaya penyadaran diri atau taubat para narapidana agar manusiawi. Menurut ajaran Islam, taubat merupakan satu-satunya cara bagi manusia untuk membersihkan diri dari berbagai bentuk kesalahan dan dosa, yang dalam sistem pemasyarakatan berarti mampu berinteraksi kembali dengan masyarakat dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan setelah melaksanakan tuntutan keadilan. Dengan demikian, dibutuhkan proses pembinaan yang intensif untuk menyadarkan pemahaman narapidana teroris tersebut yang menghalalkan pembunuhan.
Kedua, menyangkut kontrol keamanan atau prosedur operasional pemasyarakatan. Dalam kasus Oman, petugas penjara diandaikan telah kecolongan mengawasi narapidana teroris yang mengelabui dengan berpenampilan rapi, agamais, dan tentunya normal sebagaimana manusia bebas karena sosok teroris memiliki daya adaptasi lingkungan yang tinggi. Dalam kepercayaan atas kebaikan simbolis inilah akhirnya standard maximum security seperti tidak ada sinyal di area penjara dapat dilanggar atau memang tidak dijalankan sehingga handphone dapat leluasa mengisi sel-sel kamar penjara yang ada.
Dari kedua alasan di atas, terapi psikologis melalui penguatan nilai-nilai moral etik keagamaan menjadi lebih penting daripada sekadar pengamanan yang berlapis. Peran ini mesti dijalankan oleh pesantren terutama dikampanyekan oleh Direktorat Pendidikan Islam Pondok Pesantren Kementerian Agama dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM yang didukung juga oleh Majelis Ulama Indonesia. Terlebih pada pasal 14 UU Pemasyarakatan menyebutkan bahwa narapidana berhak melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya, mendapat perawatan rohani maupun jasmani, serta mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Mengacu pada landasan legal formal tersebut, prospek memasukkan pesantren sebagai salah satu bagian dari model pembinaan narapidana teroris menjadi sangat jelas agar persepsi kekerasan yang diyakini dapat berubah setelah mengalami dialog intensif dengan para kalangan agamawan.
Dapat dibayangkan bahwa dalam masa bebasnya, mantan narapidana terorisme tentu dapat menjadi bagian dari masyarakat yang tersadarkan, namun dapat juga menjadi lebih radikal lagi setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan yang masing-masing jelas sangat bergantung dari pola pembinaan yang dilakukan. Salah satu contoh adalah Bagus Budi Pranoto alias Urwah, pelaku bom Kedubes Australia yang kembali terlibat bom Marriot dan Ritz Carlton setelah keluar dari penjara dan tewas bersama Noor Din M. Top dalam baku tembak di Solo, September 2009.
Di sinilah tantangan bagi masyarakat secara luas untuk ikut andil dalam mendukung tujuan akhir dari sistem pemasyarakatan dengan ikut bersama membuat teori, rekomendasi kebijakan, dan institusi pembinaan bersama yang dapat diterapkan sebagai counter balik atas konstruksi psikologis menyimpang dari para narapidana terorisme dan masyarakat. Oleh karena itu strategi pembinaan keagamaan di dalam penjara juga harus mendapatkan perhatian serius agar tidak menjadi blunder bagi pembinaan narapidana itu sendiri karena justru terselubungi pemikiran radikalisme teroris. Dan pola perkembangan demikian ditujukan agar terwujud adanya kesalehan individu dan kesalehan sosial yang menjaga prinsip-prinsip kemanusiaan berupa peningkatan toleransi, bukan justru radikalisasi.
Model pembinaan narapidana secara umum juga diberlakukan terhadap narapidana tindak terorisme, yang dibagi menjadi dua bidang utama,[27] yaitu pembinaan kemandirian dan pembinaan kepribadian. Sedangkan pembinaan kepribadian dapat dikategorisasikan pada:
a) Pembinaan kesadaran beragama
b) Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara
c) Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan)
d) Pembinaan kesadaran hukum
e) Pembinaan Integrasi dengan Masyarakat
Dalam program di atas, pemerintah sering menggunakan tokoh yang merupakan mantan anggota Jamaah Islamiyah atau pelaku tindak pidana terorisme dari jaringan lain untuk menyadarkan narapidana teroris tersebut. Selain itu, pemerintah juga menggunakan tokoh agama yang bekerjasama dengan pemerintah. Hal demikian dijalankan untuk menghargai hak-hak asasi narapidana terorisme agar tidak merasa direndahkan yang dapat menimbulkan balas dendam. Harus disadari bahwa jika semua orang yang tertangkap diberikan hukuman seberat-beratnya sekaligus disamaratakan, maka rasa kebencian dan kemarahan akan semakin besar karena merasa diperlakukan tidak adil dibandingkan kasus-kasus yang lain. Oleh karena itu juga, program deradikalisasi yang dilakukan di bawah pengawasan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, mantan terpidana kasus terorisme dilibatkan diskusi dengan tokoh-tokoh agama dan lembaga swadaya masyarakat seperti Ali Imron, Abdullah Sonata, dan Abu Tholut.
Kalangan akademisi, aktivis mahasiswa, dan komponen lain juga dilibatkan, tetapi saat ini yang sangat strategis adalah peran Ulama karena masalah kuncinya adalah ideologi radikal sebagai sumber terorisme dan kekerasan. Dan cara untuk mengeliminir ideologi radikal, pemerintah telah mengkooptasi para ulama melalui multi-pendekatan, karena masyarakat Indonesia mayoritas karakteristiknya paternalistik maka pendekatan dengan melibatkan para ulama dirasa paling efektif untuk mengintroduksikan pemahaman anti-radikalisme kepada masyarakat luas sehingga terbangun imunitas pada diri masyarakat terhadap pemahaman-pemahaman yang di anggap radikal-fundamentalis.


Penutup
Secara umum penanganan dan pencegahan aksi terorisme dapat berjalan meskipun dengan baik. Upaya pencegahan dan penindakan yang berjalan telah menjadikan terorisme benar-benar sebagai musuh bersama masyarakat sehingga kualitas terorisme menjadi menurun, kendati kuantitas justru semakin meningkat. Hal demikian diakibatkan perang melawan terorisme pada dasarnya adalah perang melawan hati. Oleh karenanya, strategi menanggulangi terorisme harus mengintegrasikan antara strategi politik, strategi ekonomi, strategi sosial, dan strategi budaya, dengan mengedepankan aspek religiusitas dan penghormatan atas HAM.






DAFTAR PUSTAKA


Buku
A. Hogg dan Dominic Abrams, Michael. Social Identification: A Social Psychology of Intergroup Relations and Group Processes. London: Roudlege, 1988.
Adjie S. Terorisme. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.
Crelinsten, Ronald. Counterterrorism. Cambridge: Polity Press, 2009.
Hardiman, F. Budi. Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi. Jakarta: Imparsial, 2005.
Hasyim Assagaf, Muhammad. Muhammad Sebagai Pemimpin Militer. Jakarta: YAPI, 1990.
Ibn Manshur al-Fāriqī al-Misrī, Abī al-Fadl Jamāluddīn Muhammad ibn Mukrim. Lisān al-Ārāb. Beirut: Dār Sadir, 1410 H/ 1990 M.
Imron, Ali. Ali Imron Sang Pengebom. Jakarta: Republika, 2007.
Jalil Salam, Abdul. Polemik Hukuman Mati di Indonesia Perspektif Islam, HAM, dan Demokratisasi Hukum. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010.
Khaliq Ridwan, Nur. Regenerasi NII Membedah Jaringan Islam Jihadi Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2008.
Khamdan, Muh. Pesantren di Dalam Penjara. Kudus: Parist, 2010.
Khamdan, Muh. HAM Bagi Narapidana. Kudus: Parist, 2011.
Khamdan, Muh. Pesantren Di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Sebuah Model Pendidikan Pesantren Dalam Upaya Menanggulangi Kekerasan di Lembaga Pemasyarakatan, Penelitian Kompetetitif. Jakarta: Pusat Kehidupan Beragama Balitbang Kementerian Agama RI, 2010.
Kuper dan Jessica Kuper, Adam. The Social Science Encyclopedia. London: Routledge, 1996.
Mohindra, Maj. Gen. S. Terrorist Games Nations Play. New Delhi: Lancer Publisher Pvt, 1991.
O. Sears, David. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga, 1994.
Samudra, Imam. Aku Melawan Teroris. Solo: Jazera, 2004.
Tasmara, Toto. Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intellegence) (Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Wilkinson, Paul. Terrorism and the Liberal State. London: The Macmillan Press Ltd., 1977.


Media Massa
Kompas, 22 Maret 2010.
Kompas, 24 Mei 2011.
Majalah Tempo, Edisi 16-22 Agustus 2010.


Peraturan
UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Perpu Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak pidana Terorisme
Perpu Nomor No 2 tahun 2002 tentang pemberlakuan Perpu Nomor 1 tahun 2002



[1] Jaringan teroris yang menyebabkan munculnya istilah Islam jihadi di Indonesia dalam laporan International Crisis Group (ICG) wilayah Asia Tenggara merupakan daur ulang atau regenerasi dari gerakan NII. Nur Khaliq Ridwan, Regenerasi NII Membedah Jaringan Islam Jihadi di Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2008), 39-48.

[2] Dalam penanganan terorisme kurun wktu 2010, Detasemen Khusus 88 telah menewaskan 28 orang yang terduga teroris dan sekitar 600 orang ditahan. IAM, “28 Orang Terduga Teroris Tewas”, Kompas, 24 Mei 2011.

[3] Pada 2008, hanya 3 orang pelaku bom Bali (2002) yang dieksekusi mati, yaitu Imam Samudera, Amrozi, dan Mukhlas alias Ali Gufron. Abdul Jalil Salam, Polemik Hukuman Mati di Indonesia Perspektif Islam, HAM, dan Demokratisasi Hukum (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010), 389-397.

[4] Muh. Khamdan, Pesantren di Dalam Penjara (Kudus: Parist, 2010), 69.

[5] NTA/INA, “Eks Napi Didalami”, Kompas, 22 Maret 2010.

[6] David O. Sears, Psikologi Sosial (Jakarta: Erlangga, 1994), 115.

[7] Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intellegence) (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 143.

[8] Adjie S, Terorisme (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), 11

[9] Ronald Crelinsten, Counterterrorism (Cambridge: Polity Press, 2009), 1

[10] Adam Kuper dan Jessica Kuper, The Social Science Encyclopedia (London: Routledge, 1996), 872

[11] Abī al-Fadl Jamāluddīn Muhammad ibn Mukrim ibn Manshur al-Fāriqī al-Misrī, Lisān al-Ārāb (Beirut: Dār sadir, 1410 H/ 1990 M), 97.

[12] Paul Wilkinson, Terrorism and the Liberal State (London: The Macmillan Press Ltd., 1977), sebagaimana dikutip oleh F. Budi Hardiman, Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi (Jakarta: Imparsial, 2005), 5.

[13] Perpu Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak pidana Terorisme dan Perpu Nomor No 2 tahun 2002 tentang pemberlakuan Perpu Nomor 1 tahun 2002, yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

[14] Michael A. Hogg dan Dominic Abrams, Social Identification: A Social Psychology of Intergroup Relations and Group Processes (London: Roudlege, 1988), 8

[15] Muhammad Hasyim Assagaf, Muhammad Sebagai Pemimpin Militer (jakarta: YAPI, 1990), 26

[16] Imam Samudra, Aku Melawan Teroris (Solo: Jazera, 2004), 108.

[17] Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom (Jakarta: Republika, 2007), 41-71.

[18] Maj. Gen. S. Mohindra, Terrorist Games Nations Play (New Delhi: Lancer Publisher Pvt, 1991), 37

[19] Mantan aktivis NII KW 9 yang kemudian memisahkan diri.

[20] Sekjen CeDSoS (Center for Democratic and Social Justice Studies) Jakarta

[21] Penulis buku Geger Talangsari: Serpihan Darul Islam (Jakarta: Balai Pustaka, 2001)

[22] “Menumpang Momentum Renville”, Majalah Tempo, Edisi 16-22 Agustus 2010, 44

[23] Jawa Barat sebagai ibu kota NII, kemudian diikuti Sulawesi Selatan (1952) dipimpin Kahar Muzakkar dan di Aceh (1953) di bawah pimpinan Daud Beureuh. Nur Khaliq Ridwan Regenerasi NII Membedah Jaringan Islam Jihadi Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2008), 59

[24] “Upaya Hampa Natsir”, Majalah Tempo, Edisi 16-22 Agustus 2010, 46

[25] “Jihad Sebatang Korek”, Majalah Tempo, Edisi 16-22 Agustus 2010, 74

[26] Nur Khaliq Ridwan, Regenerasi NII Membedah Jaringan Islam Jihadi Indonesia, 110-155

[27] Muh. Khamdan, HAM Bagi Narapidana (Kudus: Parist, 2011), 77-80
Read More

Dinamika Pesantren Indonesia

Akar Sejarah Pesantren
Oleh. Muh. Khamdan
Widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM RI

Membahas pesantren pada dasarnya sama dengan membahas sejarah awal penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa dan Sumatra. Ditilik dari alur sejarahnya, perkembangan Islam di Indonesia sangat erat kaitannya dengan peniruan kultur budaya Islam permulaan di Jazirah Arab, yaitu adanya interaksi antara kaum pedagang yang mengembara dengan masyarakat pribumi pesisir Nusantara.
Hal demikian seringkali dihubungkan dengan sejarah awal Islam di Sumatra sebagai representasi awal Islam di Indonesia. Pengembara Muslim Arab dalam mendinamisasikan perkembangan Islam dan khasanah-khasanah keilmuannya, selalu menghargai budaya dan tradisi lokal, disertai pernikahan dengan masyarakat setempat. Dalam bahasa Husnan Bey Fananie, model perkembangan semacam ini yang melandasi cepatnya perkembangan Islam di Sumatra.
“One of the reasons of the Muslim Communities growth in North Sumatra was intermarrying between the foreign Muslim traders and women or girls from this area. Eventually, they formed new intercultural communities and estabkished the first Islamic Kingdom “Perlak” on 1st Muharram 225 Hidjra (840 AD). Sultan Alaudin Sayyid Maulana Abdul Aziz Shah was their first king. He was born of an Arab Quraish father and his mother was putri Meurah Perlak”. [1]
Oleh karena itu, komunitas Islam Indonesia merupakan bagian dari masyarakat Arab Makkah (Hijaz) yang cenderung lebih menjadikan Al Qur’an dan sunnah nabi sebagai sumber utama dan satu-satunya dalam problem solving kemanusiaan, daripada mendudukkan secara proporsional akal seperti kaum Mu’tazilah (antropomorfisme). Maklum, di wilayah Arab Hijaz adalah “istana” teks. Implikasinya, Islam Indonesia sangat dipengaruhi ekspresi simbolik teks daripada ekspresi makna kemanusiaan[2] dalam pendidikan, termasuk politik sistem monarkhi dalam gaya pasca-Khulafaur Rasyidin.
Kepemimpinan ulama terkemuka dari luar wilayah setempat, manakala sudah menikah dengan masyarakat pribumi, semakin bertambah kharisma kepengaruhannya. Hal demikian menjadi salah satu aspek penting dalam masyarakat Indonesia bahwa penghargaan berlebih pada “trah” keturunan pribumi menjadi kriteria “terselubung” untuk menjabat sebagai pemimpin informal maupun formal. Tradisi lokal monarkhi tersebut tentu sangat difahami pengembaraan Muslim pada masa-masa awal di Sumatra, sehingga mempengaruhi berdirinya kerajaan Perlak.
Sejalan dengan esensi penyebaran (dakwah) Islam, pendidikan sangat dipegang teguh dalam tradisi awal penyebaran Islam Nusantara. Kekuatan pengajaran yang berlangsung dilandasi kebingungan paternalistik, yang telah mengakar kuat dalam masyarakat Sumatra berupa hikayat atau dalam bahasa lain disebut folk tale.[3] Tak diragukan lagi, cerita merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang bisa didefinisikan sebagai tradisi lokal asli pribumi, bahkan menjadi tradisi di semua peradaban manusia lintas batas, ruang, dan waktu. Dalam konteks yang terakhir ini, masyarakat bisa menerima cerita tertentu jika tanpa kontradiksi di bagian masyarakat lain. Hal ini berbeda manakala lintas batas, ruang, dan waktu, cerita-cerita dasar dalam penyampaian doktrin agama mengalami respon dan tampilan yang berbeda. Diperlukan piranti socio-cultural history dalam wujud institusi pendidikan.
Penyebarluasan ilmu pengetahuan dan doktrin agama dalam komunitas itu selanjutnya berubah pada perkumpulan banyak orang.[4] Praktik-praktik ini berlangsung secara tetap di suatu tempat, baik tempat terbuka atau tertutup, yang dikenal dengan nama pengajian. Husnan Bey Fananie menyatakan: several pengajians were established in Acheh as The First Islamic Educational Institutions in Indonesia.[5] Perkembangan dakwah Islam memunculkan meluasnya komunitas Islam, sehingga proses pengajian itu memerlukan tempat selain Masjid saja. Muncullah institusi bernama meunasah, meulasah, beunasah, atau beulasah, yang berawal dari kata Arab, Madrasah.
Kemajuan kerajaan di wilayah satu, kemudian menarik wilayah lain untuk memajukan diri dengan mendirikan kerajaan baru, atau setidaknya memotivasi integrasi komunitas. Lebih penting lain kemakmuran kerajaan-kerajaan itu mampu memberi peningkatan posisi kerjasama lintas wilayah. Hal ini juga yang mempengaruhi terjalinnya hubungan berkesinambungan antara masyarakat Sumatra dengan Timur Tengah. Kebanyakan masyarakat (Nusantara) pergi ke Hijaz untuk melaksanakan ibadah haji dan sekaligus mengembara untuk mempelajari ilmu-ilmu Islam.[6]
Sejalan dengan perkembangan hubungan internasional, pertukaran tokoh merupakan fakta yang tidak bisa dikesampingkan. Perputaran hubungan tersebut muncul dan terjalin dari genealogi intelektual yang kompleks, dan lebih-lebih menguat oleh ikatan spiritual tarekat sufi dalam hubungan murshid (guru) dan murid (anggota). [7]
Dalam membahas tentang peran sufi ini, Sri Mulyati menggambarkan sebagai berikut:
“Sufism in Indonesia can not be dealt with in isolation from the history of Islam in that country, and yet there is no agreement among scholars about the exact time of the advent of Islam to Indonesian and the particular area of the country which was first islamized. According to Marcopolo, who spent five mont on the north coast of Sumatra in 1292, Islam had already been established there. Like wise Ibn Battuta discovered that there had already long been an Islamic Kingdom in Samudra (Acheh) when he arrived in 1346”. [8]
Dalam konteks demikian, Islam mulai memerankan kehadirannya dengan dukungan tokoh-tokoh ulama sufi dari luar Nusantara, dalam membentuk masyarakat dagang yang substantif. Gelombang pelayaran pengembara muslim Arab, akhirnya juga sampai pesisir pantai utara Jawa. Islam pada tahap awal di Jawa ini, hanya dipraktikkan sekelompok kecil muslimin yang melaksanakan keberagamaan Islam atas nama seluruh masyarakat desa. Kemunculan Islam sebagai agama yang dianut banyak penduduk Jawa sering dikemukakan sebagai efek kiprah Syekh Maulana Malik Ibrahim[9] dalam membangun institusi pendidikan Islam pertama kali di Jawa, yang disebut pesantren. [10]
Maulana Malik Ibrahim dalam masyarakat santri Jawa merupakan sosok yang dianggap sebagai gurunya para guru pesantren di Jawa.[11] Di samping itu, figur populer Malik Ibrahim mempengaruhi terbentuknya komunitas penyebar Islam di Jawa, dikenal dengan komunitas Walisongo,[12] yang masing-masing menuntaskan islamisasi dalam pengembaraan dan membangun masjid sebagai tempat sentral berkumpulnya komunitas keagamaan, sampai akhirnya terdesak untuk membuat pesantren karena banyaknya peminat dan wilayah yang saling berjauhan untuk proses transfer ilmu sampai terbangunnya jaringan intelektual ulama.
Sebagai gambaran terbangunnya semacam jaringan sarjana muslim berskala dunia adalah dari keberadaan Syekh Ahmad Khatib as-Sambasi Kalimantan yang menjadi mufti Sunni di Makkah dan berperiode dengan Kiai Saleh Darat, masing-masing memiliki santri Nawawi al Bantani dan Mahfud at-Tirmisi. Dari generasi kedua ini, muncullah generasi ketiga Muhammad Kholil Bangkalan serta K.H.R.Asnawi Kudus. Di bawah gerakan generasi ketiga, terjadilah loncatan besar perkembangan penyebaran keilmuan Islam dalam skala luas se-antero Nusantara, masih dalam institusi berwujud pesantren.[13]
Hal demikian karena generasi ketiga yang bernaung dalam institusi pesantren telah mengajarkan sebuah tradisi yang transformatif sebagai adopsi dari strategi penyebaran Islam ala Walisongo, yaitu bukan sekadar mengajak masyarakat dengan Islam, tetapi juga mengubah struktur sosial masyarakat menuju tata sosial yang lebih adil, manusiawi, dan berakar dari pada tradisi setempat. Proses demikian didukung oleh pilar penting penyebaran berdasarkan ikatan kolektifitas slogan, man la syaikhu lahu, fasy Syaithanu syaikhun lahu (siapa yang tidak punya guru, maka setanlah yang akan jadi gurunya). [14] Sikap pesantren tersebut bukan hanya dari segi toleransinya saja, tetapi lebih pada kontribusi pembentukan identitas bangsa dengan kepeduliannya untuk tetap mempertahankan tradisi dan nilai budaya setempat, sehingga melahirkan sebutan Islam Kultural. [15]
Pemahaman tentang Islam cultural ini penting, supaya mampu menghadirkan varian pendidikan kritis[16] untuk melakukan proagnosa terkait penyebab, konsekuensi, dan cara-cara pemecahan model dikotomik menuju integrasi keilmuan yang memberdayakan sesuai dengan karakteristik budaya masyarakat Nusantara yang heterogen. Dalam konteks ini, unsur emansipatoris menjadi sangat penting sebagai landasan utama membawa masyarakat keluar dari keterpurukan. Emansipatoris adalah derivasi spesifik paradigma humanisme,[17] dimana pengabdian dan pemberdayaan masyarakat lebih dikedepankan daripada klaim pemurnian agama. Aspek kepentingan inilah yang membawa berkembangnya paradigma pendidikan kritis dan berbeda dari yang pernah ada.
Paradigma kultural merupakan mainstream pemikiran Islam yang selama ini berkembang di Indonesia, dan membedakan dengan negara muslim lain di dunia. Asumsi dasar dari paradigma ini adalah bahwasanya Indonesia besar karena sumbangsih besar dari kaum Nahdlatul Ulama (NU), dan NU besar sekaligus dibesarkan dalam tradisi (al-turats). Tradisi yang tergambar dalam keilmuan klasik dan praktik-praktik keagamaan yang berbau lokalitas, telah menjadi bagian terpenting dalam pandangan hidup kalangan Nahdliyin secara umum.
Paradigma kultural tersebut setidaknya sangat dijunjung tinggi dan menjadi identitas terselubung dalam dunia pesantren. Pesantren menjadi institusi pendidikan keagamaan yang sangat baik untuk melestarikan tradisi sekaligus mengembangkannya. Pesantren adalah bentuk institusionalisasi tradisi yang dibentuk kebanyakan oleh kaum elit NU. Tradisi tidak sekadar menghadirkan pandangan-pandangan lama, tetapi mereproduksi dan mereposisi diri berdasarkan konteks realitas, yang berarti aktif sekaligus relevan sepanjang masa dan waktu (sholih li kulli zaman wa makan).
Pelabelan gerakan tradisi terhadap NU juga sebagai konsekuensi atas kelahirannya untuk membela tradisi, yaitu membaca doa dalail al-khairat, membangun kuburan, berziarah, tahlilan, membaca manaqib, al barjanzi, dan kemerdekaan bermazhab, yang terancam oleh kaum puritanisme.[18] Namun dibalik pembelaan tradisi yang dikategorikan konservatif, NU memiliki bibit progresifitas yang dimulai dari pengajaran dan unsur-unsur bernuansa non-agama dalam proses pembelajaran di pesantren Tebuireng, Denanyar, dan Singosari.[19] Hal ini menunjukkan translasi dua arah yang dimainkan kalangan NU sebagai cerminan konsep kosmologinya, ahlussunnah wal jama'ah (Aswaja).
Pandangan dunia NU tersebut menjadikan respon terhadap fenomena kehidupan berdasarkan prinsip keseimbangan, harmonis, dan menghargai kemajemukan sosial. Prinsip semacam ini terangkum dalam tiga aspek keberagamaan, yaitu teologi (aqidah), syari'at, dan etika (tasawuf). [20]
Umat Islam di Indonesia dalam menanggapi tradisi masyarakat lokal, sering diidentikkan dengan tipe pemikiran tradisionalisme sebagai lawan modernisme.[21] Hal ini jelas sesuai dengan uraian di atas. Namun karena modernitas ikut berintegrasi dalam komunitas dan gagasan masing-masing kalangan, label tersebut tidak lagi absah digunakan. M. Muhsin Jamil dalam memetakan pemikiran Islam dengan mengadopsi Muhammad Abid al Jabiri menggunakan tiga tipologi.
Pertama, tipologi yang menolak semua tradisi yang dipersepsi bukan tradisi Islam, karena adanya keyakinan bahwa di dalam Islam sudah mencakup semua aspek kehidupan. Kedua, menonjolkan modernitas karena menganggap bahwa tradisi tidak sesuai dengan kehidupan kontemporer manusia. Ketiga, menjaga tradisi sekaligus mengintegrasikannya dengan modernitas.[22] Tipologi ketiga inilah yang dikembangkan oleh anak muda gerakan tradisioanal (NU) dengan beragam varian,[23] yang mengacu pada prinsip fikih, al muhafazhah 'ala al qadim ash-shalih wal-akhdz bil jadid al-ashlah.
Varian ketiga ini mempunyai concern kepada persoalan-persoalan kemanusiaan daripada persoalan-persoalan teologis. Islam sudah cukup dibela dan tidak perlu dibela, tetapi manusia dan lingkungan hayati tertindas yang membutuhkan pembelaan. Islam dengan beragam istilah ingin mengalihkan wacana agama dari persoalan melangit (teosentris) menjadi persoalan konkret manusia (antroposentris).
Dalam gugusan pemikiran seperti itu, kalangan pesantren salafy atau identik dengan pesantren NU dan jaringannya, selalu berkonsentrasi melakukan perubahan masyarakat dengan sifat buttom up, yaitu langsung terjun ke lapisan bawah dengan model partisipasi dan aksi pada tataran praksis. Model pendidikan menyatu dengan prinsip-prinsip pelatihan, sehingga format kegiatannya berbentuk Bahtsul Masail, pendampingan atas kebutuhan masyarakat, dan model pelatihan lain.





[1] Husnan Bey Fananie, “Modernism in Islamic Education in Indonesia And India a Case Study of the Pondok Modern Gontor And Aligarh”, Thesis, Netherlands Cooperation in Islamic Studies Leiden University, Leiden, 1997, hal. 6

[2] Dalam tradisi keberagamaan, muslim Indonesia cenderung menerima ketaatan religius sang Kiai, memahami doktrin hanya berlandaskan pada tuturan kiai dan teks-teks dalam kitab salafi abad pertengahan. Akibatnya, klaim sesat begitu semarak karena sesuatu yang “berbau” doktrin agama, selalu diadili berdasarkan teks belaka, tanpa didasari prosedural berfikir akal, nilai-nilai universal kemanusiaan, dan adat kebiasaan. Dari beberapa dasar tersebut, kita bisa menyebut bahwa sunah dan sumber asli doktrin Islam sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad, jauh dari maslahat kebangsaan dan kemanusiaan setelah mengalami tampilan respon masyarakat Muslim Indonesia. M. Hasibullah Satrawi, “Fikih Mazhab Indonesia”, dalam [http://www.islamemansipa toris.com/artikel?id=553].

[3] Husnan Bey Fananie, Op. cit, hal. 7

[4] Perkumpulan banyak orang dalam penyebarluasan ilmu pengetahuan dan doktrin agama ini biasa disebut halaqah (study circles, lingkaran belajar) yang sama diselenggarakan di Masjidil Haram Mekah dan Masjid Nabawi Madinah. Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hal. 122.

[5] Ibid, hal. 8

[6] Untuk menyebut contoh tokoh-tokoh tersebut seperti Syeikh Muhammad Yusuf Abu al Machasin Hadiya Allah Taj al-Khalwati al Maqassari, Nur al Din al Raniri, dan Abdul Rouf al Jawi al Fansuri al Sinkili. Ibid, hal. 145

[7] Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna (Terj), LKiS Yogyakarta, 1995, hal. 3

[8] Sri Mulyati, “Sufism in Indonesia; an Analysis of Nawawi al Bantani’s Salalim al Fudala”, Thesis, Institute of Islamic Studies Mc. Gill University, Montreal P.Q. Canada, 1992, hal. 4

[9] Biasanya disebut Syekh Maghribi sebab berasal dari Maghrib (Marocco), dan datang ke Indonesia dari Gujarat (India, Asia Selatan). Wafat pada 8 April 1419 M/ 12 Rabiul Awwal 822 H. Saifudin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, al Ma’arif Bandung, Bandung, 1979, hal. 263. lihat juga Abdurrahman Mas’ud, “Sejarah dan Budaya Pesantren”, dalam Ismail SM, dkk. (Ed), Dinamika Pesantren dan Madrasah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hal. 3. Bandingkan dengan Husnan Bey Fananie, Op. cit, hal. 9

[10] Pesantren merupakan jenis sekolah di Asia Tenggara yang memberi pengajaran dalam ilmu pengetahuan keIslaman di Jawa, Indonesia. Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, LP3ES, Jakarta, 1985, hal. 16.

[11] Saifudin Zuhri, Op. Cit, hal. 263

[12] Secara berturut-turut adalah Maulana Malik Ibrahim, Raden Rahmat, Raden Paku, Maulana Makdum Ibrahim, Syarifudin, Ja’far Shodiq, Raden Sahid, Umar Said, dan Syarif Hidayatullah. Solichin Salam, Sekitar Walisanga, Menara Kudus, Kudus, 1972, hal. 23

[13] Perkembangan luas yang berawal dari pesantren ini didorong dari potensi yang dimiliki pesantren itu sendiri, sebagai basis pendidikan, dakwah, dan kemasyarakatan. Sehingga, karakter inipun secara reflektif akan membentuk karakter alumni yang peduli pada kemajuan, keIslaman, dan pemberdayaan kemanusiaan. Ditransformasikan oleh Hasyim Asyari dengan menjadi agent social of change di wilayah sarang penyamun, Tebuireng Jombang. Lihat Yusuf Hasyim, “Peranan dan Potensi Pesantren Dalam Pembangunan”, dalam Manfred Oepen dan Wolfgang Karcher, Dinamika Pesantren (Kumpulan Makalah Seminar Internasional “The Role of Pesantren in Education and Community Development in Indonesia), P3M, Jakarta, 1988, hal. 89.

[14] Ahmad Baso, NU STUDIES: Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam Dan Fundamentalisme Neo-Liberal, Erlangga, Jakarta, 2006, hal. 387

[15] Istilah Islam kultural sebenarnya tidak jelas dalam epistemologi term, namun setidaknya ini mendapatkan booming wacana setelah tokoh intelektual terkemuka NU, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengemukakan gagasan tentang pribumisasi Islam. Menurutnya, wahyu Tuhan hendaknya difahami dengan mempertimbangkan factor-faktor kontekstual dan melakukan rekonsiliasi Islam dengan kekuatan-kekuatan budaya setempat. M. Syafi'I Anwar, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Membingkai Potret Pemikiran Politik KH Abdurrahman Wahid, dalam pengantar Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2006, hal. xxvii

[16] Pendidikan kritis adalah model pendidikan yang dipraktikkan sebagai upaya rekonstruksi (perubahan) masyarakat yang menolak sistem kejumudan (antikemapanan). Di antara tokoh-tokoh yang mengusung wacana demikian, misalnya Ivan Illich “de schooling Society”, Paulo Freire “Pedagogy for The Oppressed”, dan Everett Reimer “Kematian Sekolah”. Ahmadi, Ideologi Pendidikan Humanisme Teosentris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 4

[17] Dua pemikir yang berasal dari Semarang mengembangkan paradigma humanisme dengan mengintegrasikan dalam tataran Islam. Pertama, dengan term humanisme religius oleh Prof. Abdurrahman Mas’ud. Lihat dalam bukunya, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam), Gama Media, Yogyakarta, 2002. Kedua, dengan konsep humanisme teosentris yang dikembangkan Prof. Dr. Ahmadi dalam Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.

[18] Andree Feillard, Op. cit, hal. 11-13.

[19] Abdurrahman Mas'ud, Op.cit, hal. 208

[20]Ahmad Baso, Op.cit, hal. 24

[21] M. Muhsin Jamil, M.A., Membongkar Mitos Menegakkan Nalar, Pergulatan Islam Literal Versus Islam Literal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 86

[22] Ibid, hal. 126-127. Tiga tipologi ini memiliki kesamaan dengan tipologi yang dihadirkan Masdar Farid Mas'udi dengan istilah Islam tradisional, Islam Fundamental, dan Islam Liberal. Masdar Farid Mas'udi, "Paradigma dan Metodologi Islam Emansipatoris" dalam kumpulan bahan Pendidikan Islam Emansipatoris Angkatan II JIE-P3M, Pusdiklat Depdiknas, 19-24 Mei 2003

[23] Varian tipologi pemikiran anak muda NU membentuk identitasnya masing-masing sesuai lokalitas yang melingkupi. Di Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam NU) berkembang dengan tesis Islam Pribumi, di LKiS berwujud pemikiran Pos-tradisionalisme Islam, di Lembaga Studi Agama dan demokrasi (eLSAD) cenderung biasa menggunakan istilah Islam Kiri, dan di tangan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dengan kampanye label Islam Emansipatoris. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi adalah kekuatan besar Indonesia. Catatan pribadi dalam dialog subaltern dengan Dr. Yudian Wahyudi dan sahabat-sahabat peserta Pekan Ilmiah Mahasiswa 2006 dalam acara Annual Conference Depag RI di Bandung. Dr. Yudian adalah seorang sarjana muslim Indonesia yang pernah menjadi dosen di Universitas Harvard, dan saat ini aktif mengasuh di "Nawesea" English Pesantren Yogyakarta.
Read More

Pesantren Modern

Keinginan Kemeterian Agama untuk menghapus adanya Pesantren Modern melalui Peraturani Menteri, ini sangat memotong Hak-Hak orang lain dalam mengelolah Pesantren. Alasan Kementerian Agama kurang rasional, kalau hanya beralasan Pesantren Modern memiliki sistem pendidikan berjenjang, mulai madrasah ibtidaiyah hingga perguruan tinggi. Sedangkan pesantren salaf memiliki tradisi yang fokus pada pengajian kitab-kitab klasik atau turats.
Bukankah Pesantren yang memiliki sistem pendidikan berjenjang, mulai madrasah ibtidaiyah hingga perguruan tinggi itu merupakan suautu kesuksesan suatu Pesantren dalam mengembangkan Pesantren sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan Masyarakat yang modern saat ini.
Kementerian Agama perlu berhati hati dalam mengambil keputusan hal ini tidak semua Pondok Pesntren modern mengabaikan pengajian kitab-kitap klasik atau taurats dan sebaliknya tidak semua pondok salaf yang fokus pada pengajian, ada juga Pondok Pesantren salaf yang memilki sistem pendidikan berjenjang mulai dari Madrasah Ibtidaiyah sampai Perguruan Tinggi.
Kalau keinginan Kemetrian Agama itu terjadi, bagaimana nasib Pondok Pesantren Darussalam gontor di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Pondok Pesantren Islam Assalaam di di desa Pabelan kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Pondok Pesantren Darus- Sholihin, Depok, Jawa Barat, dan Pondok Pesantren Moden lainnya yang sudah banyak Satrinya dan Sistem Pendidikannya sudah berjalan. Apakah ini tidak menambah persoal di tubuh KementerianAgama?
Penghapusan tidak perlu dilakukan, namun perlu pembatasan-pembatasan. Misalnya, bagi Pondok Pesantren yang sisten Pendidikannya sudah berjalan, ini jangan langsung dihentikan, biarkan peserta didik yang sudah menempuh pendidikan di Pondok Pesantren tersebut sampau lulus, kemudian tidak mengambil atau menerima peserta didik baru. Artinya, dalam hal penghapusan pondok Pesantren, Kementerian Agama harus secara bertahap.
Selain itu, dalam mengambil keputusan, Kementrian Agama tidak boleh mengambil keputusan secara sepihak hanya di internal Kementerian Agama saja, melainkan perlu adanya kesepakatan bersama dengan pihak-pihakyang bersangkutan sehingga tidak menambah persoalan di dunia Pnedidikan kita. Sekarang jaman Demokrasi, asalkan tidak bertentangan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, warga negera Indonesia berhak untuk mengelolah pendidikan.
Saya berfikir, justru dari Pondok Pesantren Modern lahir generasi sebagian besar penerus bangsa Indonesia yang jujur dan amanah karena mereka tidak hanya pengajian kitab-kitab klasik atau turats saja, melainkan juga diajarkan persoalan politik kebangsaan sesuai dengan keadaan yang modern saat ini, walaupun tidak mendominasi pelajaran yang lain, jadi ada keseimbangan antara memiliki ilmu kitab-kitab klasik dengan ilmu kitab-kitab modern.
Read More

Manajemen Pendidikan Di Pondok Pesantren


Dalam prinsip ajaran Islam segala sesuatu tak boleh dilakukan secara asal-asalan melainkan harus dilakukan secara rapi benar tertib dan teratur dan proses-proses juga harus diikuti dgn tertib.
Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw bersabda : yg arti : “Sesungguh Allah sangat mencintati orang yg jika melakukan sesuatu pekerjaan dilakukan secara Itqan (tepat terarah jelas dan tuntas)”. (HR Thabrani)
Sebenar manajemen dalam arti mengatur segala sesuatu agar dilakukan dgn baik tepat dan tuntas merupakan hal yg disyariatkan dalam ajaran Islam sebab dalam islam arah gayah (tujuan) yg jelas landasan yg kokoh dan kaifiyah yg benar merupakan amal perbuatan yg dicintai Allah swt.
Setiap organisasi termasuk pendidikan pondok pesantren memiliki aktivitas-aktivitas pekerjaan tertentu dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Salah satu aktivitas tersebut adl manajemen. Dengan pengetahuan manajemen pengelola pondok pesantren bisa mengangkat dan menerapkan prinsip-prinsip dasar serta ilmu yg ada di dalam Al-Qur’an dan Hadis ke dalam kembaga tersebut.
Manajemen sebagai ilmu yg baru dikenal pada pertengahan abad ke-19 dewasa ini sangat populer bahkan dianggap sebagai kunci keberhasilan pengelola perusahaan atau lembaga pendidikan tak terkecuali lembaga pendidikan Islam seperti pondok pesantren maka hanya dgn manajemen lembaga pendidikan pesantren diharapkan dapat berkembang sesuai harapan krn itu manajemen merupakan sebuah niscaya bagi lembaga pendidikan Islam atau pesantren utk mengembangkan lembaga ke arah yg lbh baik.
Abudin Nata (2003 : 43) menyebutkan dewasa ini pendidikan islam terus dihadapkan pada berbagai problema yg kian kompleks krn itu upaya berbenah diri melalui penataan SDM peningkatan kompetensi dan penguatan institusi mutlak harus dilakukan dan semua itu mustahil tanpa manajemen yg profesional.
Seperti diketahui bahwa sebagai sebuah sistem pendidikan Islam mengandung berbagai komponen yg saling berkaitan satu sama lain komponen tersebut meliputi landasan tujuan kurikulum kompetensi dan profesionalisme guru pola hubungan guru dan murid metodologi pembelajaran sarana prasarana evaluasi pembiayaan dan lain sebagainya. Berbagai komponen ini - krn dilakukan tanpa perencanaan konsep yg matang - seringkali berjalan apa ada alami dan tradisional akibat mutu pendidikan Islam acapkali menunjukkan keadaan yg kurang membanggakan.
Al-Qur’an dan Hadits yg notabene merupakan landasan dan dasar pendidikan Islam saat ini belum benar-benar digunakan sebagaimana mestinya. Hal ini diakibatkan oleh minim pakar -di Indonesia- yg secara khusus mendalami pemahaman kedua sumber tersebut dalam perspektif pendidikan Islam. Ummat Islam belum banyak mengetahui tentang isi kandungan Al-Quran dan Al-Sunnah yg berhubungan dgn pendidikan secara baik. Akibat proses pendidikan Islam belum berjalan diatas landasan dan dasar ajaran Islam itu sendiri.
Sebagai konsekwensi visi dan misi pendidikan Islam juga masih belum berhasil dirumuskan secara baik dan universal. Tujuan pendidikan Islam juga seringkali diorientasikan utk menghasilkan manusia – manusia siap pakai bukan siap hidup menguasai ilmu Islam saja bukan berkarekter islami dan visi diarahkan utk mewujudkan manusia yg shalih dalam arti ritual ukhrowi belum sosial dunia Akibat lulusan pendidikan Islam hanya memiliki kesempatan dan peluang yg terbatas mereka kurang mampu bersaing dan tak mampu berebut peluang dan kesempatan dalam ruang yg lbh kompleks.
Konsekwensi lbh lanjut lulusan pendidikan Islam semakin terpinggirkan dan tak berdaya ini merupakan masalah besar yg perlu segera diatasi lbh lebih dalam dunia persaingan yg kian kompetieif dan mengglobal. Problema ini kian diperparah oleh tak tersedia tenaga pendidik Islam yg profesional yaitu tenaga pendidik yg selain menguasai materi ilmu yg diajarkan secara baik dan benar juga harus mampu mengajarkan secara efektif dan efisien kepada para siswa serta harus pula memiliki idealisme.
Manajemen yg dimaksud disini adl kegiatan seseorang dalam mengatur organisasi lembaga atau perusahaan yg bersifat manusia maupun non manusia sehingga tujuan organisasi lembaga atau perusahaan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Bertolak dari rumusan ini terdapat beberapa unsur yg inheren dalam manajemen antara lain :
  1. Unsur proses arti seorang manejer dalam menjalankan tugas manajerial harus mengikuti prinsip graduasi yg berkelanjutan.
  2. Unsur penataan arti dalam proses manajemen prinsip utama adl semangat mengelola mengatur dan menata.
  3. Unsur implementasi arti setelah diatur dan ditata dgn baik perlu dilaksanakan secara profesional.
  4. Unsur kompetensi. Arti sumber-sumber potensial yg dilibatkan baik yg bersifat manusia maupun non manusia mesti berdasarkan kompetensi profesionalitas dan kualitasnya.
  5. Unsur tujuan yg harus dicapai tujuan yg ada harus disepakati oleh keseluruhan anggota organisasi. Hal ini agar semua sumber daya manusia mempunyai tujuan yg sama dan selalu berusaha utk mensukseskannya. Dengan demikian tujuan yg ada dapat dijadikan sebagai pedoman dalam melaksanakan aktivitas dalam organisasi.
  6. Unsur efektifitas dan efisiensi. Arti tujuan yg ditetapkan diusahakan tercapai secara efektif dan efisien.
Relevan dgn hal diatas Hamzah (1994 : 32) menyebutkan bahwa yg dimaksud dgn Manajemen Pendidikan Pesantren adl aktivitas memadukan sumber-sumber Pendidikan Pesantren agar terpusat dalam usaha utk mencapai tujuan Pendidikan Pesantren yg telah ditentukan sebelum dgn kata lain manajemen Pendidikan merupakan mobilisasi segala sumberdaya Pendidikan Pesantren utk mencapai tujuan pendidikan yg telah ditetapkan.
Maka manajemen Pendidikan Pesantren hakekat adl suatu proses penataan dan pengelolaan lembaga Pendidikan Pesantren yg melibatkan sumber daya manusia dan non manusia dalam menggerakkan mencapai tujuan Pendidikan Pesantren secara efektif dan efisien.”. Yang disebut “efektif dan efisien” adl pengelolaan yg berhasil mencapai sasaran dgn sempurna cepat tepat dan selamat. Sedangkan yg “tak efektif” adl pengelolaan yg tak berhasil memenuhi tujuan krn ada mis-manajemenmaka manajemen yg tak efisien adl manajemen yg berhasil mencapai tujuan tetapi melalui penghamburan atau pemborosan baik tenaga waktu maupun biaya.
Reddin (1970 : 135) memberikan beberapa gambaran tentang perilaku manajer yg efektif antara lain : pertama mengembangkan potensi para bawahan kedua memahami dan tahu tentang apa yg diinginkan dan giat mengejar memiliki motivasi yg tinggi ketiga memperlakukan bawahan secara berbeda-beda sesuai dgn individu dan keempat bertindak secara team manajer.
Seorang manajer tak hanya memanfaatkan tenaga bawahan yg sudah ahli atau trampil demi kelancaran organisasi yg dia pimpin saja tetapi juga memberikan kesempatan pada bawahan agar mereka dapat meningkatkan keahlian atau ketrampilannya.
Manajer Pendidikan Pesantren pada umum hanya tahu apa tugas mereka agar proses pendidikan dapat berlangsung konstan tetapi acapkali mereka kurang mampu mengantisipasi secara akurat perubahan yg bakal terjadi di masyarakat pada umum dan dalam dunia pendidikan Islam khususnya. Akibat mereka hanya tenggelam dalam tugas-tugas rutin organisasi keseharian tetapi sangat sulit melakukan inovasi progresif nan memungkinkan dicapai tujuan organisasi secara lbh improve dan membanggakan.
Dalam tiap perjalanan sebuah lembaga itu tak terlepas yg nama aktivitas managemen krn tiap lembaga organisasi dan termasuk pondok pesantren selalu berkaitan dgn usaha-usaha mengembangkan dan memimpin suatu tim kerja sama atau kelompok orang dalam satu kesatuan dgn memanfaatkan sumber daya yg ada. Semua ini utk mencapai suatu tujuan tertentu dalam organisasi yg ditetapkan sebelumnya. Maka dari pada itu keterkaitan managemen dan memimpin tidaklah salah jika kemudian orang menyatakan bahwa managemen sangat berkait erat dgn persoalan kepemimpinan. Karena managemen dari segi etimologi yg berasal dari sebuah kata manage atau manus (latin) yg berarti memimpin menangani mengatur dan membimbing. Dengan demikian pengertian managemen dapat diartikan sebagai sebuah proses khas yg terdiri dari tindakan-tindakan; perencanaan pengorganisasian penggiatan dan juga pengawasan. Ini semua juga dilakukan utk menentukan atau juga utk mencapai sasaran yg telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia serta sumber-sumber lainnya.
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa managemen adl ilmu aplikatif dimana jika dijabarkan menjadi sebuah proses tindakan meliputi beberapa hal : Pleaning organizing aktuating controling. Berdasarkan empat hirarki tersebut managemen dapat bergerak tentu hal itu juga bergantung tingkat kepemimpinan seorang manager. Arti adl proses managerial sebuah organisasi akan bergerak apabila para manager mengerti dan paham secara benar akan apa yg dilakukannya. (Suhartini dkk2005:70-72)
Maka berdasarkan dari definisi di atas baik secara etimologi dan termenologi berbicara managemen pendidikan pondok pesantren atau bisa disebut mengolah konsep apapun tentang pesantren sebenar bukanlah pekerjaan mudah. Terlebih dahulu ada kenyataan bahwa tak ada konsep yg mutlak rasional dan paling afdhol diterapkan di pesantren. Baik sejarah pertumbuhan yg unik maupun krn tertinggal pesantren dari lembaga-lembaga kemasyarakatan lain dalam melakukan kegiatan-kegiatan teknis pesantren belum mampu mengolah apalagi dalam soal melaksanakan konsep yg disusun berdasarkan pertimbangan rasional.
Kendati bersifat gradual dalam beberapa tahun terakhir di lembaga pendidikan pesantren telah dilakukan berbagai pembaharuan di bidang manajemen sebagai jawaban atas tuntutan demokratisasi global salah satu bentuk adl model manajemen demokratis yg berbasis kultural dari oleh dan utk peserta didik (DOUP) dalam konteks ini terjadi rekonstruksi dari yg top down menjadi button up dari yg doktrimal menjadi demokratik dari yg menyeramkan menjadi menyenangkan.
Konsederasi yg dapat digunakan bagi model manajemen demokratis adl bahwa tiap manusia dan masyarakat diciptakan dalam keadaan merdeka krn itu kemerdekaan adl hak tiap manusia dan kemerdekaan sejati itu adl terbebas rakyat dari berbagai bentuk ketak berdayaan disegala bidang termasuk pendidikan.
Karena itu agenda utama manajemen demokratis dalam pendidikan islam adl semangat pembebasan kaum muslimin dari belenggu ideologi dan relasi kekuasaan yg menghambat mencapai perkembangan harkat dan martabat kemanusiaan maka manajemen demokratis dalam pendidikan islam sejati diarahkan pada proses aksi dimana kelompok sosial kelas bawah mengontrol ilmu pengetahuan dan membangun daya melalui pendidikan penelitian dan tindakan sosial kritis.
Dari sisi managemen kelembagaan di pesantren saat ini telah terjadi perubahan mendasar yakni dari kepeminpinan yg sentralistik hirarkis dan cenderung singgle fighter berubah menjadi model managemen kolektif seperti model yayasan.
Sejati manajemen berhubungan erat dgn usaha utk tujuan tertentu dgn jalan menggunakan berbagai sumber daya yg tersedia dalam organisasi atau lembaga pendidikan Islam dgn cara yg sebaik mungkin. Manajemen bukan hanya mengatur tempat melainkan juga mengatur orang per orang dalam mengatur orang tentu diperlukan seni atau kiat agar tiap orang yg bekerja dapat menikmati pekerjaan mereka.
Dalam proses manajemen fungsi-fungsi manajemen digambarkan secara umum dalam tampilan prangkat organisasi yg dikenal dgn sebutan teori manajemen klasik. Para pakar manajemen mempunyai perbedaan pendapat dalam merumuskan proses manajemen Bagi Poul Mali (1981 : 54) fungsi manajemen meliputi : planning organizing staffing directing and controlling. Sedangkan dalam pandangan Wayne (1988 : 32) fungsi manajemen meliputi : planning organizing leading and controlling.Sementara menurut Peter Drukcer (1954 : 87) proses manajemen dimulai dari planning organizing staffing directing coordinating reporting dan budgeting. Dan menurut Made Pidarta (1988 : 85) manajemen meliputi :planning organizing comanding coordinating controlling
Berdasarkan uraian diatas yg wajib ada dalam proses manajemen minimal empat hal yakni : planning organizing actuating controlling (POAC).Empat hal ini proses digambarkan dalam bentuk siklus krn ada saling keterikatan antara proses yg pertama dgn proses beriku begitu juga setelah pelaksanaan controlling lazim dilanjutkan dgn membuat planningbaru.
Dalam hal ini para pakar manajemen pendidikan Islam merumuskan siklus proses manajemen pendidikan Islam diawali oleh ada sasaran yg telah ditetapkan terlebih dahulu lalu disusunlah rencana utk mencapai sasaran tersebut dgn mengorganisir berbagai sumber daya yg ada baik materiil maupun non materiil lalu berbagai sumberdaya tersebut digerakkan sesuai job masing masing dan dalam aktuating tersebut dilakukan pengawasan agar proses tersebut tetap sesuai dgn rencana yg telah ditetapkan sebelumnya.
Perencanaan pendidikan islam adl proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan kegiatan yg akan dikerjakan pada waktu yg akan datang utk mencapai sasaran atau tujuan pendidikan islam yg telah dirumuskan dan ditetapkan sebelumnya.
Dalam islam keharusan membuat perencanaan yg teliti sebelum melakukan tindakan banyak disinyalir dalam teks suci baik secara langsung maupun secara sindiran (kinayah) misal dalam islam diajarkan bahwa upaya penegakan yg ma’ruf dan pencegahan yg munkar membutuhkan sebuah perencanaan dan strategi yg baik sebab bisa jadi kebenaran yg tak terorganisir dan terencana akan dikalahkan oleh kebatilan yg terorganisir dan terencana.
Meskipun Alqur’an menyatakan yg benar pasti mengalahkan yg bathil (al Isra’ : 81) namun Allah lbh mencintai dan meridhoi kebenaran yg diperjuangkan dalam sebuah barisan yg rapi terencana dan teratur ( as shaff : 4)
Setelah perencanaan dilanjutkan dgn pengorganisasian yakni proses penataan pengelompokan dan pendistribusian tugas tanggung jawab dan wewenang kepada semua perangkat yg dimiliki menjadi kolektifitas yg dapat digerakkan sebagai satu kesatuan team work dalam mencapai tujuan yg telah ditentukan secara efektif dan efesien. Dalam Qs. 6 : 132 ditegaskan bahwa “Setiap orang mempunyai tingkatan menurut pekerjaan masing-masing.
Sewaktu Rasulullah membentuk atribut-aribut negara dalam kedudukan beliau sebagai pemegang kekuasaan tetinggi beliau membentuk organisasi yg didalam terlibat para sahabat beliau yg beliau tempatkan pada kedudukan menurut kecakapan dan ilmu masing-masing. Tidak dapat dipungkiri bahwa Rasulullah adl seorang organisatoris ulung administrator yg jenius dan pendidik yg baik yg menjadi panutan krn itu beliau disebut sebagai panutan yg baik (uswatun hasanah).
Setelah planning dan organizing dalam siklus manajemen pendidikan islam dilanjutkan dgn actuating yakni proses menggerakkan atau merangsang anggota anggota kelompok utk melaksanakan tugas mereka masing masing dgn kemauan baik dan antusias.
Fungsi Actuating berhubungan erat dgn sumber daya manusia oleh krn itu seorang pemimpin pendidikan Islam dalam membina kerjasama mengarahkan dan mendorong kegairahan kerja para bawahan perlu memahami seperangkat faktor-faktor manusia tersebut krn itu actuating bukan hanya kata-kata manis dan basa-basi tetapi merupakan pemahaman radik akan berbagai kemampuan kesanggupan keadaan motivasi dan kebutuhan orang lain yg dgn itu dijadikan sebagai sarana penggerak mereka dalam bekerja secara bersama-sama sebagai taem work.
Siklus terakhir adl controlling yakni proses pengawasan dan pemantauan terhadap tugas yg dilaksanakan sekaligus memberikan penilaian evaluasi dan perbaikan sehingga pelaksanaan tugas kembali sesuai dgn rencana yg telah ditetapkan.
Menurut Siagian (1983 : 21) fungsi pengawasan merupakan upaya penyesuaian antara rencana yg telah disusun dgn pelaksanaan dilapangan utk mengetahui hasil yg dicapai benar-benar sesuai dgn rencana yg telah disusun diperlukan informasi tentang tingkat pencapaian hasil. Informasi ini dapat diperoleh melalui komunikasi dgn bawahan khusus laporan dari bawahan atau observasi langsung. Apabila hasil tak sesuai dgn standar yg ditentukan pimpinan dapat meminta informasi tentang masalah yg dihadapi.
Dengan demikian tindakan perbaikan dapat disesuaikan dgn sumber masalah. Di samping itu utk menghindari kesalahpahaman tentang arti maksud dan tujuan pengawasan antara pengawas dgn yg diawasi perlu dipelihara jalur komunikasi yg efektif dan bermakna dalam arti bebas dari prasangka nigatif dan dilakukan secara berdayaguna dan berhasilguna al hasil tujuan pengawasan pendidikan Islam haruslah konstruktif yakni benar benar utk memperbaiki meningkatkan efektifitas dan efisiensi.
Read More

Management Pondok Pesantren


Sistem Manajemen Pondok Pesantren Mahasiswa yang Ideal


(Karya ilmiah)
diajukan untuk mengikuti lomba karya ilmiah remaja
Di Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Jihad Surabaya
Oleh : Aisyah Umaroh (Zulaikha)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, Yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan dalam pembuatan karya tulis ini ini tepat pada waktu yang telah di tentukan.

Shalawat dan Salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi agung Muhammad SAW. Karena dengan perjuangan beliau kita dapat merasakan kehidupan yang damai ini dalam Dinnul Islam.
Sehubungan dengan adanya penulisan karya tulis ini kami sebelumnya minta maaf, apabila ada kesalahan atau kekeliruan yang ada dalam karya tulis ini, oleh karena itu dalam pengkajian suatu yang ditelaah ini terfokuskan pada suatu inti yang mana isi yang terkandung di dalam karya tulis ini yaitu pembahasan Sistem manajemen Pondok pesantren mahasiswa yang ideal.

Dari sinilah kami sebagai penulis, mengucapkan terima kasih kepada teman-teman kamar Zulaikha yang telah memberikan motivasi sehingga kami dapat menyelesaikan tulisan ini. Semoga Allah membalas atas kebaikan dan menyertakannya atas kita.

Kami sadar bahwa tulisan ini jauh dari kata yang sempurna. Untuk itu kami selalu membuka diri akan kritik dan saran yang membangun bagi para pembaca untuk melengkapi makalah ini.

Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang membacanya dan dapat sedikit mewujudkan pengetahuan didalam lembaran ini

Surabaya, 15 April 2010

Penulis

BAB I


PENDAHULUAN










A. LATAR BELAKANG MASALAH




Pondok pesantren mahasiswa merupakan tempat tinggal bagi mahasiswa yang juga mempunyai keinginan untuk memperdalam ilmu agama di pondok tersebut. Seperti yang sudah kita ketahui bersama layaknya sebuah lembaga lain tentunya memiliki manajemen yang akan mengarahkan langkah suatu lembaga itu, Begitu pula dengan pondok pesantren mahasiswa tentunya memiliki menagement dalam menjalankan program-program agar pembelajaran dan aktivitas santri lebih maksimal sesuai dengan yang di harapkan.







Suatu manajemen pondok pesantren mahasiswa tentu akan sangat berbeda penerapannya dengan pondok pesantren salafiyah pada umumnya karena pemikiran dan orientasi penghuni pondok yang pasti berbeda. Untuk lebih jelasnya di dalam karya tulis ini akan di bahas manajemen pondok pesantren mahasiswa sehingga dapat di katakan ideal.





B. RUMUSAN MASALAH

• Bagaimana manajemen pondok pesantren mahasiswa dapat di katakan ideal?




• Prinsip apa yang di gunakan pondok pesantren sehingga di katakan ideal?




• Bagaimana pola kepemimpinan pada pondok pesantren ideal?





C. TUJUAN

Tujuan penulis menulis karya tulis ini agar kita mengetahui bentuk manajemen yang di gunakan pondok pesantren ideal dan selanjutnya agar memahami, mengerti dan dapat mengaplikasikan dalam proses pendidikan di pondok pesantren yang akan di kelola sehingga terwujudlah pondok pesantren yang dapat di katakan ideal.








BAB II


PEMBAHASAN








A. Manajemen pondok pesantren mahasiswa yang ideal

Kata pesantren berasal dari kata ‘santri’ yang memiliki arti istilah yang di gunakan bagi orang-orang yang menuntut ilmu agama di lembaga pendidikan islam tradisional di jawa. Kata santri yang mendapat imbuhan ‘pe’ di awal dan ‘an’ di akhir memiliki arti tempat para santri menuntut ilmu.










Kebanyakan pondok pesantren menerapkan manajemen yang berorientasi pada penanaman jiwa ketulusan, ke sukarelaan, yang biasanya dikenal dengan istilah khusus dengan “lillahi ta’ala”. Konsep lillahi ta’ala menjiwai hampir semua aktivitas pada pondok pesantren. Hanya saja konsep tersebut pada masa lalu banyak memiliki kelemahan yang utamanya disebabkan karena tidak diimbangi dengan kemampuan dan profesionalisme yang memadai sehingga pelaksanaan manajemen pada pondok pesantren tersebut apabila dilihat dari kacamata modern tampak ‘amburadul’ dan kurang efisien. Meski tidak dapat di pungkiri konsep lilahi ta'ala dapat menjadi modal dasar utama dalam kehidupan pondok pesantren tradisional selama ini serta menjadikan pondok pesantren menjadi tahan banting dari segala gangguan dan pengaruh perubahan jaman. Karakteristik manajemen berbasis pondok pesantren dapat dianalisis dengan pendekatan sistem yaitu dari segi input-proses-output.








1. Output yang diharapkan

Pondok pesantren harus memiliki target output yang di harapkan adalah prestasi pondok pesantren yang di hasilkan oleh proses pendidikan dan pembelajaran serta manajemen yang ada di pondok pesantren. Yang pada umumnya diklasifikasikan menjadi empat yaitu :










a. Output berupa prestasi pengetahuan akademik-keagamaan




Prestasi pengetahuan yang merupakan output andalan dan sekaligus menjadi ciri khas dari pendidikan di pondok pesantren tanpa output tersebut secara baik maka suatu pondok pesantren akan kehilangan jati dirinya yang memang ahli dalam bidang ilmu agama islam. Output ini di tandai dengan tingginya penguasaan lulusan dalam bidang keagamaan misalnya: kemampuan dalam bidang bahasa arab yang sangat mahir dengan nahwu-sharafnya dapat membaca kitab kuning secara bagus, membaca Al-Qur'an dengan sangat lancar, menguasai hukum islam secara baik, memiliki akhlak yang baik, memiliki keterampilan berdakwah secara bagus, memiliki wawasan keislaman secara baik, dan kemampuan keislamannya yang lain secara baik pula.








b. Output berupa prestasi pengetahuan akademik –umum

Prestasi pengetahuan yang merupakan di harapkan dapat meningkatkan para lulusan pondok pesantren agar ahli dalam mata pelajaran seperti matematika, sains, bahasa Indonesia serta bahasa asing sebagai modal dalam peningkatan kemampuan serta memenangkan persaingan yang ketat di era global. Untuk mencapai bidang ini di harapkan sebuah pondok pesantren mau melakukan kerja sama dengan lembaga lain.








c. Output berupa prestasi dalam hal ketrampilan/kecakapan hidup

Dengan dibekalinya ketrampilan / kecakapan hidup (life skill achiefement) di harapkan para santri setelah keluar dari pondok pesantren dapat hidup mandiri dan tidak tergantung dengan orang lain. Misalnya di ajarkannya cara penulisan buku yang memang ketika ia menuntut ilmu di universitas sudah dibekali untuk itu, media dakwah modern, dan ketrampilan lain yang intinya dapat meningkatkan skill para santri.








d. Output berupa prestasi dalam bidang non akademik

Kemampuan yang tentunya dapat mendukung dari tiga kemampuan di atas misalnya: rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesam, kejujuran, keingintahuan yang tinggi, kedisiplinan, dan dapat bekerjasama dengan baik kepada sesama baik secara cooperatif maupun secara kolaboratif.








2. Proses di pondok pesantren

Di antara karakteristik yang harus di miliki oleh pondok pesantren mahasiswa yang ideal adalah:



Menjunjung tinggi IMTAQ dan akhlakul karimah.
Proses pembelajaran di pondok pesantren yang memiliki keefektifan yang tinggi sehingga membedakan dengan lembaga lain.
Adanya kepemimpinan pondok pesantren yang kuat.
Lingkungan pondok pesantren yang aman dan tertib yang menjadikan mahasiswa tidak kelayapan mengurusi hal-hal yang tidak berguna
Adanya pengelolaan tenaga yang efektif.
Pondok pesantren memiliki kelompok kerja (team work) yang cerdas, dinamis, dan kompak.
Pondok pesantren memiliki kemandirian yang tinggi.
Adanya partisipasi yang tinggi dari warga pondok pesantren dan masyarakat.
Adanya transparansi manajemen.
Adanya kemampuan dan kemauan untuk berubah.
Adanya perencanaan, evaluasi, dan perbaikan secara berkala.
Pondok pesantren responsive, dan antisipatif, terhadap kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
Pondok pesantren memiliki komunikasi yang baik.
Pondok pesantren memiliki akuntabilitas yang tinggi.
Pondok pesantren memiliki kemampuan menjaga subtanbilitas (kelangsungan hidupnya) secara baik.




3. Input pondok pesantren




Karakteristik dari pondok pesantren yang efektif di antaranya memiliki input dengan karakteristik sebagai berikut



Adanya kebijakan, tujuan dan sasaran mutu yang jelas.
Sumber daya tersedia dan siap.
Staf yang kompeten berdedikasi tinggi dan berakhlakul karimah.
Memiliki harapan prestasi yang tinggi.
Focus pada pelanggan khususnya para santri
Adanya input manajemen yang memadai untuk menjalankan roda pondok pesantren (adanya tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sistematis, program yang mendukung pelaksanaan rencana, adanya aturan yang jelas dan tegas, serta adanya sistem pengendalian mutu yang efektif.


Apabila ada 3 aspek ini yang meliputi input, proses dan output maka di harapkan setiap santri tentunya akan mendapatkan bekal yang cukup sehingga setelah keluar dari pondok pesantren kelak seorang santri tak kan mungkin membebankan hidupnya kepada orang lain dan dia akan mampu hidup mandiri.








B. Prinsip Pondok Pesantren Mahasiswa Ideal

Beberapa prinsip yang harus di miliki oleh pondok pesantren sehingga dapat dikatakan ideal adalah sebagai berikut:



Teosentrik
Ikhlas dan pengabdian
Kearifan
Kesederhanaan
Kolektifitas (barokatul jama’ah)
Mengatur kegiatan bersama
Kebebasan terpimpin
Kemandirian
Tempat menuntut ilmu dan mengabdi
Mengamalkan ajaran agama
Belajar di pesantren bukan untuk mencari sertifikat / ijazah saja
Kepatuhan terhadap kiyai




Sedangkan pesantren juga memiliki peran dan fungsi yang setiap tahun selalu berubah, ketika awal (masa syaikh Maulana Malik Ibrahim) lembaga pondok pesantren memiliki fungsi sebagai pusat pendidikan dan penyiaran agama islam. Kedua fungsi ini bergerak saling menunjang pendidikan dapat di jadikan bekal dalam mengumandangkan dakwah sementara dakwah dapat di manfaatkan sebagai sarana dalam membangun sistem pendidikan.





C. Pola kepemimpinan Pondok Pesantren Ideal

Keefektifan perilaku kepemimpinan dapat di teropong dari beberapa sudut pandang diantaranya :



Sudut pandang kekuasaan.




Dari sudut ini seorang pemimpin dapat menggunakan secara otoriter, demokrasi dan leissez faire. Di dalam agama Islam sosok sebagai kyai adalah seseorang yang memiliki gelar yang harus di hormati layaknya raja, sehingga seseorang yang menjadi kyai dia akan di patuhi semua apa yang ia katakan oleh masyarakat setempat. Posisi yang serba menentukan itu akhirnya justru cenderung menyumbangkan terjadinya otoritas mutlak, Seorang kyai adalah sosok yang mengendalikan sumber-sumber terutama pengetahuan dan wibawa.yang merupakan bagi santri nya . maka kyai menjadi tokoh yang melayani sekaligus melindungi santri.



Sudut pandang tingkah laku.




Dari sudut pandang tingkah laku ini seorang pemimpin dapat menggunakan gaya kepemimpinan yaitu :

Menunjukkan masalah, alternatif pemecahan masalah, dan apa yang harus di lakukan oleh kelompok.
Menjual keputusan dengan meyakinkan kelompok, bahwa keputusan itu paling baik dan harus di laksanakan.
Menguji kelompok melalui pelemparan masalah dan alternatif pemecahan sedangkan keputusan di ambil setelah adanya reaksi dari kelompok.
Berkonsultasi atau menggabungkan diri dengan kelompok dalam arti berpartisipasi di dalam kerja kelompok.
Menyerahkan kepada kelompok kekuasaan untuk mengambil keputusan dan mengakui keputusan itu.

Sudut torehan ke depan


Perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada torehan ke depan terdapat dua gaya kepemimpinan, yaitu :

Berorientasi pada pencapaian tujuan, walaupun suasana tegang.
Berorientasi pada pemeliharaan suasana kerja yang akrab, meskipun memungkinkan tujuan tidak tercapai.




Sehingga dari ke dua gaya tersebut dapat di gambarkan sebagai berikut :

Pemeliharaan suasana kerja rendah, upaya pencapaian tujuan rendah
Upaya pemeliharaan suasana kerja tinggi, pencapaian tujuan rendah.
Upaya pencapaian tujuan rendah, suasana kerja tinggi.
Upaya pencapaian tujuan tinggi, suasana pemeliharaan kerja rendah.

Sudut pandang waktu



Gaya kepemimpinan permanen yaitu gaya dasar yang sangat sulit berubah.
Gaya kepemimpinan situasional yaitu gaya kepemimpinan yang di sesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat dan sewaktu-waktu.




BAB III


PENUTUP




A. Kesimpulan




Pondok pesantren menerapkan manajemen yang berorientasi pada penanaman jiwa ketulusan, kesukarelaan, yang biasanya di kenal dengan istilah khusus dengan “lillahi ta’ala”. Konsep lillahi ta’ala menjiwai hampir semua aktivitas pada pondok pesantren. Hanya saja konsep tersebut pada masa lalu banyak memiliki kelemahan yang utamanya disebabkan karena tidak diimbangi dengan kemampuan dan profesionalisme yang memadai sehingga pelaksanaan manajemen pada pondok pesantren tersebut apabila dilihat dari kacamata modern tampak ‘amburadul’ dan kurang efisien. Meski tidak dapat dipungkiri konsep lilahi ta'ala dapat menjadi modal dasar utama dalam kehidupan pondok pesantren tradisional selama ini serta menjadikan pondok pesantren menjadi tahan banting dari segala gangguan dan pengaruh perubahan jaman. Karateristik manajemen berbasis pondok pesantren dapat dianalisis dengan pendekatan sistem yaitu dari segi input-proses-output.











Beberapa prinsip yang harus di miliki oleh pondok pesantren sehingga dapat dikatakan ideal adalah sebagai berikut: Teosentrik, Ikhlas dan pengabdian, Kearifan, Kesederhanaan, Kolektifitas (barokatul jama’ah), Mengatur kegiatan bersama, Kebebasan terpimpin, Kemandirian, Tempat menuntut ilmu dan mengabdi, Mengamalkan ajaran agama, Belajar di pesantren bukan untuk mencari sertifikat / ijazah saja, Kepatuhan terhadap kyai.








Keefektifan perilaku kepemimpinan dapat di teropong dari : Sudut pandang kekuasaan, Sudut pandang waktu, Sudut torehan ke depan, Sudut pandang tingkah laku.











DAFTAR PUSTAKA

Sulton, M, Khusnuridlo, Moh, Manajemen Pondok Pesantren Dalam Perspektif Global, Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2006
Asrohah, Hanun, Pelembagaan Pesantren : Asal-Usul dan Perkembangan Pesantren di Jawa, Jakarta: Bagian proyek, peningkatan informasi penelitian dan diklat keagamaan Departemen Agama RI, 2004
Qomar, Mujamil, Pesantren : Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, 2002
M.M. Billah, Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat Memasuki Millennium III’ makalah disampaikan pada seminar di hotel Syahid Jaya Jakarta 8-9 November 1999
Read More