Islam Dan Hak Azazi Manusia

Islam dan Hak Asasi Manusia Dalam Program Deradikalisasi Terorisme di Indonesia

Pendahuluan
Keberhasilan Kepolisian Republik Indonesia melalui Detasemen Khusus (Densus) 88 membongkar jaringan teroris berideologi Islam radikal di Indonesia[1] dan menangkap pelaku-pelakunya, menyebabkan Lembaga Pemasyarakatan yang ditangani Direktorat Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM dihadapkan pada permasalahan menampung tahanan dan narapidana tindak terorisme yang semakin bertambah.[2] Hal demikian lebih sulit lagi karena sedikit sekali yang dijatuhi hukuman mati,[3] sisanya hanya dijatuhi hukuman dalam hitungan tahun yang pada akhirnya akan kembali lagi di tengah masyarakat. Oleh karenanya, program pembinaan terhadap narapidana[4] terorisme menjadi penting sebagai bagian dari upaya counterterrorism atau perlawanan terhadap terorisme.

Tertangkapnya Aman Abdurrahman alias Oman Rahman di Kampung Panteneun, Cimalaka, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, jelas mempertegas terbangunnya struktur organisasi teroris baru di Indonesia yang berawal dari Lembaga Pemasyarakatan. Oman yang menjalani hukuman sebagai narapidana terorisme justru leluasa melakukan koordinasi jaringan terorisme dari dalam penjara dengan adanya sel baru jaringan terorisme yang berlatih militer di Nangroe Aceh Darussalam.[5] Kesadaran atas kondisi demikian menjadikan aparatur pemenjaraan nasional segera bertindak membaca momentum dengan mendesain ulang pola pembinaan bagi pelaku terorisme dalam proses deradikalisasi melalui program re-edukasi nilai-nilai kemanusiaan yang didukung dengan program reintegrasi sosial bagi narapidana terorisme dengan pendekatan agama.
Hal demikian dipengaruhi adanya narapidana terorisme selama berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan, beberapa di antara mereka memungkinkan untuk mempengaruhi para tahanan dan narapidana kriminal biasa agar dapat bergabung ke dalam aksi teror setelah bebas.[6] Hal tersebut tentu mendapatkan korelasi tinggi seiring dengan adanya perubahan-perubahan tekanan psikologis yang dihadapi narapidana biasa di dalam penjara. Perubahan drastis yang menjadikan lingkungan semakin menekan bagi narapidana, seperti kehilangan kebebasan fisik, kehilangan kelayakan hidup normal, dan terpaan gangguan psikologis akan menuntut mereka untuk mencari kebermaknaan hidup.[7] Di sinilah pentingnya program deradikalisasi dengan pendekatan Islam dan hak asasi manusia.


Islam dan Perdebatan Terorisme
Terorisme adalah suatu mazhab pemikiran atau kepercayaan yang dilakukan melalui pemaksaan kehendak dengan tindakan illegal yang mengarah pada penggunaan kekuatan atau kekerasan untuk mengintimidasi, melawan, bahkan membunuh, dalam pencapaian kepentingan tertentu.[8] Oleh karena itu, terorisme adalah bentuk khusus dari kekerasan yang dikarakterkan oleh adanya fungsi komunikasi dengan gerakan revolusi berstruktur di bawah tanah (underground), [9] dengan melakukan penyerangan terhadap objek vital masyarakat dan subversi politik nasional.
Terorisme adalah kegiatan yang bertujuan untuk mengintimidasi, membuat kepanikan, dan kehancuran dalam suatu masyarakat, yang bisa dilakukan baik secara personal atau kelompok dengan tujuan melawan pemerintah.[10] Beberapa term yang ada keterkaitannya dengan terorisme dalam Islam antara lain al-irhāb (irhābiyah), al-hirābah (perampokan), qati’u al-tāriq atau qutta’u al-tāriq (pembegal), al-baghyu (pemberontakan), al-‘unf (lawan dari lemah lembut).[11] Oleh karena itu, teror sebagai kata dasar dari terorisme, bersifat sangat subjektif.[12] Artinya, setiap orang memiliki batas ambang ketakutannya sendiri, dan secara subjektif menentukan apakah suatu peristiwa merupakan teror atau hanya peristiwa biasa. Akibatnya, suatu perisitwa teror bagi seseorang belum tentu merupakan teror bagi orang lain.
Menurut Konvensi PBB tahun 1997, terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas. Sementara dalam Peraturan Perundang-Undangan Nomor 1 Tahun 2002 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang berdasarkan UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dijelaskan bahwa terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia, serta merugikan kesejahteraan masyarakat.[13] Oleh karenanya, perlu dilakukan pemberantasan secara berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.
Dalam Islam, tindakan-tindakan kejahatan tersebut tentu sangat berlawanan dengan konteks jihad yang selama ini dijadikan dalik para pelaku terorisme. Para tersangka atau narapidana terorisme bukanlah individu yang memiliki tipe kepribadian khusus atau menyandang kelainan jiwa. Kalangan ini justru menampilkan karakteristik kepribadian yang normal, bukan psikopat. Oleh karena itu, tingkat radikalisme narapidana teroris berkaitan dengan keyakinan atau ideologinya masih memiliki peluang untuk dapat dikurangi atau diminimalisasi secara perlahan melalui perlakuan yang manusiawi, yaitu memenuhi hak asasinya, memperhatikan harga dirinya, dan menjaga keluarganya. Berbagai perlakuan dengan kekerasan hanya akan menguatkan identitas sosial tertentu[14] sehingga dendam akan semakin bertambah.
Pada konteks demikian, perlu membandingkan bahwa jihad bertujuan mengakhiri segala bentuk penganiayaan dan intimidasi dalam rangka menjamin terwujudnya perdamaian, agar setiap individu merasakan ketentraman dan mampu mengamalkan agamanya tanpa hambatan.[15] Oleh karena itu, jihad bertujuan juga untuk menjunjung tinggi kalimatullah serta mengamankan akidah, jiwa, harta, dan anak-anak sebagai implementasi konsep amar ma’rūf nahī munkar. Dalam hal ini, yang penting diperhatikan adalah bukan bagaimana memberantas kemunkarannya akan tetapi mencegah segala sesuatu yang dapat menimbulkan perbuatan munkar tersebut.
Pemahaman jihad banyak yang tidak difahami secara komprehensif dan cenderung mengadopsi konsep konservatif yakni semata-mata peperangan fisik melawan musuh yang tidak seide, sebagaimana definisi Imam Samudera. [16] Hal ini juga seperti pendapat Ali Imron yang melakukan aksi bom Bali sebagai pembalasan terhadap kaum kafir yang telah membunuh dan melakukan kesewenangan terhadap kaum muslim.[17] Balasan ini seperti kesewenangan peperangan di Palestina, Somalia, sudan, Afghanistan, Chechnya, Kashmir, Moro, dan Poso.


Memahami Akar Geneologi Terorisme di Indonesia
Maj. Gen. S. Mohindra dan Karl A. Seger menyatakan bahwa terorisme memiliki struktur organisasi yang sangat sederhana. Pelaku organisasi teroris itu terdiri dari pimpinan, kader aktif, pendukung aktif, dan pendukung pasif.[18] Dalam memahami pola organisasi teroris tersebut, International Crisis Group (ICG) wilayah Asia Tenggara telah menggambarkan akar generasi terorisme di Indonesia berawal dari spirit tersisa DI/TII, sebagaimana pendapat para peneliti seperti Al Chaidar, [19] Umar Abduh, [20] dan Wdjiono Wasis. [21]
Jawa Barat merupakan basis perjuangan Darul Islam (DI) dengan berdirinya Tentara Islam Indonesia (TII) yang pernah dibentuk oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo dari Malangbong, Garut, pada Pebruari 1948 akibat kekecewaan atas isi Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948.
Perjanjian Renville itu mengharuskan masyarakat, tentara Siliwangi, dan laskar bersenjata lain untuk mundur dari wilayah Jawa Barat menuju Yogyakarta, yang dalam perjanjian itu disebut garis Van Mook, yaitu garis batas wilayah Indonesia dengan Belanda sedangkan Jawa Barat pada saat itu dikuasai Belanda.[22] Keharusan hijrahnya tentara Siliwangi sebagai divisi militer kebanggaan rakyat Jawa Barat dan laskar-laskar bersenjata seperti Hizbullah dan Sabilillah yang dibentuk oleh Partai Masyumi, ditolak oleh banyak tokoh pergerakan termasuk Kartosoewiryo. Pada akhir 1948, ibu kota Yogyakarta diserang Belanda dan pemimpin nasional yang berkantor di sana ditangkap sehingga mengesankan kalau Republik Indonesia sudah tamat riwayatnya.
Maka Kartosoewiryo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus 1949 di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, dan menganggap bahwa Jawa Barat sebagai daerah de facto NII sehingga setiap pasukan atau kekuatan lain yang melewati wilayah itu dianggap melanggar kedaulatan, sehingga harus bergabung dengan TII atau dilucuti dan ditawan.[23] Hari deklarasi NII itu persis dengan keberangkatan Moh. Hatta ke Den Haag, Belanda, untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar. [24]
Perjuangan NII berakhir setelah Kartosoewiryo ditangkap pada 3 Juni 1962 melalui operasi pagar betis yang menyekat gerak langkah wilayah komunikasi gerilyawan dengan masyarakat. Maklumat penghentian gerakan juga dikeluarkan langsung oleh Kartosoewiryo pada 6 Juni 1962. Kartsoewiryo disidang Mahkamah Angkatan Darat dalam Keadaan Perang untuk Jawa dan Madura di Markas Besar TNI-AD yang ada di Gambir, dengan vonis hukuman mati, 5 September 1962.
Kematian Kartosoewiryo tidak menyurutkan gerakan dari pentolan eks Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia untuk tetap memperjuangkan Negara Islam Indonesia. Upaya meredam gerakan dilakukan Orde Baru terhadap mantan anggota DI/TII melalui Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) yang meminta keluarga Kartosoewiryo dan eks- DI/TII untuk menandatangani ikrar kembali ke pangkuan NKRI sebagai simbol gerakan DI/TII benar-benar telah selesai dan mengajak mantan anggota DI untuk memenangkan Golkar dalam Pemilu 1971. [25]
Banyak mantan anggota DI yang setuju mendukung Golkar, namun tidak sedikit juga yang menolak, sehingga melahirkan dua faksi. DI Fillah yang menolak ke jalan jihad oleh Djaja Sudjadi, Adah Djaelani Tirtapraja, Ateng Djaelani, dan Danu Muhammad Hasan. Sedangkan DI Fisabilillah yang masih tetap menghidupkan semangat Kartosoewiryo untuk mendirikan Negara Islam Indonesia dipimpin oleh Ahmad Sobari.
Dalam perkembangannya, masing-masing faksi dari DI Fillah dan DI Fisabilillah mengalami banyak pemisahan dari para pengikutnya. 1976, Adah Djaelani dilantik sebagai imam NII yang baru. Pada 1980-1982, banyak tokoh-tokoh neo NII masuk penjara karena adanya gerakan komando jihad (Komji) berupa intimidasi terhadap kelompok Islam yang belum menerima politik fusi Orde Baru. Pada 1984, perpecahan semakin menjadi di tubuh NII dengan terbentuknya banyak faksi, yaitu Jamaah Muslimin (Jamus) bentukan militer-PNI yang dipimpin Wali al-Fatah, RPII (Republik Persatuan Islam Indonesia) yang bermetamorfosis jadi Pesantren Hidayatullah oleh Abdullah Said, NII fillah yang nonstruktural, kelompok Ajengan Masduki, kelompok Asep Saiful, kelompok Abdullah Sungkar yang berubah menjadi Jamaah Islamiyah, kelompok Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) didirikan oleh Abdul Qadir Baraja, Kelompok KW 9 Abu Toto dan Ma’had Al-Zaytun, kelompok Helmy Aminuddin menjadi PKS, kelompok Ahmad Sobari yang berubah menjadi Lembaga Dakwah Thoriquna, kelompok Aceng Kurnia, kelompok Royanuddin yang berubah menjadi Liga Muslimin Indonesia. [26]
Dari sinilah gerakan NII dianggap menciptakan reinkarnasi gerakan-gerakan Islam radikal di Indonesia.


Tabel Proses Regenerasi NII


Tahun
Peristiwa
Tokoh

7 Agustus 1949
Deklarasi NII di Jawa Barat
SM Kartosoewiryo

1952
Penggabungan Sulawesi Selatan
Kahar Muzakkar

1953
Penggabungan Aceh
Daud Beureuh

3 Juni 1962
Penangkapan SM. Kartosoewiryo



6 Juni 1962
Maklumat penghentian gerakan NII



21 April 1971
Silaturrahim eks-NII di Bandung
Danu Muhammad H

1974
Pertemuan Mahoni eks-NII
3 pimpinan wilayah NII

1975
Pembentukan sayap NII, Fillah dan Fisabilillah, serta adanya Komando Jihad
DI Fillah oleh Djaja Sudjadi, Adah Djaelani, dan Danu Muhammad.

DI Fisabilillah oleh Ahmad Sobari

1980-1982
Operasi komando Jihad
BAKIN oleh Ali Moertopo

1984
Perpecahan dan regenerasi NII



Jamaah Muslimin
Wali AlFatah

Republik Persatuan Islam Indonesia
Abdullah Said melalui Pesantren Hidayatullah di Sulawesi

Jamaah Islamiyah (1 Januari 1993) sebagai kelanjutan kelompok Solo-Kudus
Oman Abdul Rahman, (komando 1) Abdullah Sungkar, Ba’asyir, Komando 2) Abu Jibril, Hambali, Abu Rusydan, Abu Dujana

MMI (1999)
Ba’asyir, Deliar Noer

KW 9
Abu Toto

PKS oleh Helmy Aminuddin bin Danu Muhammad yang diawali Jama’ah Tarbiyah pada 1991
Helmy dibina Soeripto belajar Ikhwanul Muslimin faksi Qiyadah Said Hawwa di Suriah, 1985



Liga Muslim Indonesia (1999)
Royanuddin, Sumargono



Regenerasi yang terus berjalan dari gerakan neo-NII telah menjadikan banyaknya tindak kekerasan yang selalu berdalih atas nama agama karena semakin tajamnya perbedaan dipertontonkan ke ruang publik. Kebangkitan perbedaan tersebut melahirkan stok martir terorisme tidak pernah surut, bahkan jaringan teroris baru selalu terbentuk dan tertangkap, sehingga menambah beban bagi negara dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana terorisme.
Deradikalisasi Terorisme Dari Balik Penjara Perspektif HAM
Peristiwa terbongkarnya terorisme dari balik penjara tentu berimplikasi pada pembangunan persepsi bahwa kalangan teroris memang sosok yang cerdas membaca momentum serta peluang. Persepsi ini tentu membawa perubahan paradigma kalau terorisme adalah bahaya laten yang sewaktu-waktu dapat muncul tanpa dapat diperkirakan. Keinginan Kementerian Hukum dan HAM untuk membangun penjara khusus teroris, seperti gagasan LP Sukamiskin menjadi sentral penjara bagi koruptor pada 2011, menjadi suatu keniscayaan. Sekurangnya memiliki dua alasan.
Pertama, menggelandang teroris seringkali membawa resiko pembinaan yang tidak sedikit, baik sesama narapidana maupun petugas penjara (LP atau Rumah Tahanan). Resiko yang muncul bisa bervariasi dari pengaruh dogma keagamaan yang menggiurkan surga terhadap penghuni sehingga dimungkinkan terjadinya sel jaringan teroris baru, hingga ancaman teror karena adanya jaringan yang belum teridentifikasi di luar penjara. Bahkan bisa jadi pembinaan menjadi sulit karena pemahaman keagamaan aparat penjara bisa didistorsi oleh narapidana teroris yang memiliki retorika buaian surga dan pengetahuan agama yang lebih. Dari sini, karantina penjara pidana umum bagi para pelaku terorisme mengalami ketidakefektifan sehingga penjara khusus teroris dapat dibuat sebagaimana LP Narkotika yang telah berdiri di berbagai kota, seperti Jakarta, Cirebon, Medan, dan Jawa Timur.
UU Nomor 12/1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan mengatur tentang upaya penyadaran diri atau taubat para narapidana agar manusiawi. Menurut ajaran Islam, taubat merupakan satu-satunya cara bagi manusia untuk membersihkan diri dari berbagai bentuk kesalahan dan dosa, yang dalam sistem pemasyarakatan berarti mampu berinteraksi kembali dengan masyarakat dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan setelah melaksanakan tuntutan keadilan. Dengan demikian, dibutuhkan proses pembinaan yang intensif untuk menyadarkan pemahaman narapidana teroris tersebut yang menghalalkan pembunuhan.
Kedua, menyangkut kontrol keamanan atau prosedur operasional pemasyarakatan. Dalam kasus Oman, petugas penjara diandaikan telah kecolongan mengawasi narapidana teroris yang mengelabui dengan berpenampilan rapi, agamais, dan tentunya normal sebagaimana manusia bebas karena sosok teroris memiliki daya adaptasi lingkungan yang tinggi. Dalam kepercayaan atas kebaikan simbolis inilah akhirnya standard maximum security seperti tidak ada sinyal di area penjara dapat dilanggar atau memang tidak dijalankan sehingga handphone dapat leluasa mengisi sel-sel kamar penjara yang ada.
Dari kedua alasan di atas, terapi psikologis melalui penguatan nilai-nilai moral etik keagamaan menjadi lebih penting daripada sekadar pengamanan yang berlapis. Peran ini mesti dijalankan oleh pesantren terutama dikampanyekan oleh Direktorat Pendidikan Islam Pondok Pesantren Kementerian Agama dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM yang didukung juga oleh Majelis Ulama Indonesia. Terlebih pada pasal 14 UU Pemasyarakatan menyebutkan bahwa narapidana berhak melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya, mendapat perawatan rohani maupun jasmani, serta mendapatkan pendidikan dan pengajaran. Mengacu pada landasan legal formal tersebut, prospek memasukkan pesantren sebagai salah satu bagian dari model pembinaan narapidana teroris menjadi sangat jelas agar persepsi kekerasan yang diyakini dapat berubah setelah mengalami dialog intensif dengan para kalangan agamawan.
Dapat dibayangkan bahwa dalam masa bebasnya, mantan narapidana terorisme tentu dapat menjadi bagian dari masyarakat yang tersadarkan, namun dapat juga menjadi lebih radikal lagi setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan yang masing-masing jelas sangat bergantung dari pola pembinaan yang dilakukan. Salah satu contoh adalah Bagus Budi Pranoto alias Urwah, pelaku bom Kedubes Australia yang kembali terlibat bom Marriot dan Ritz Carlton setelah keluar dari penjara dan tewas bersama Noor Din M. Top dalam baku tembak di Solo, September 2009.
Di sinilah tantangan bagi masyarakat secara luas untuk ikut andil dalam mendukung tujuan akhir dari sistem pemasyarakatan dengan ikut bersama membuat teori, rekomendasi kebijakan, dan institusi pembinaan bersama yang dapat diterapkan sebagai counter balik atas konstruksi psikologis menyimpang dari para narapidana terorisme dan masyarakat. Oleh karena itu strategi pembinaan keagamaan di dalam penjara juga harus mendapatkan perhatian serius agar tidak menjadi blunder bagi pembinaan narapidana itu sendiri karena justru terselubungi pemikiran radikalisme teroris. Dan pola perkembangan demikian ditujukan agar terwujud adanya kesalehan individu dan kesalehan sosial yang menjaga prinsip-prinsip kemanusiaan berupa peningkatan toleransi, bukan justru radikalisasi.
Model pembinaan narapidana secara umum juga diberlakukan terhadap narapidana tindak terorisme, yang dibagi menjadi dua bidang utama,[27] yaitu pembinaan kemandirian dan pembinaan kepribadian. Sedangkan pembinaan kepribadian dapat dikategorisasikan pada:
a) Pembinaan kesadaran beragama
b) Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara
c) Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan)
d) Pembinaan kesadaran hukum
e) Pembinaan Integrasi dengan Masyarakat
Dalam program di atas, pemerintah sering menggunakan tokoh yang merupakan mantan anggota Jamaah Islamiyah atau pelaku tindak pidana terorisme dari jaringan lain untuk menyadarkan narapidana teroris tersebut. Selain itu, pemerintah juga menggunakan tokoh agama yang bekerjasama dengan pemerintah. Hal demikian dijalankan untuk menghargai hak-hak asasi narapidana terorisme agar tidak merasa direndahkan yang dapat menimbulkan balas dendam. Harus disadari bahwa jika semua orang yang tertangkap diberikan hukuman seberat-beratnya sekaligus disamaratakan, maka rasa kebencian dan kemarahan akan semakin besar karena merasa diperlakukan tidak adil dibandingkan kasus-kasus yang lain. Oleh karena itu juga, program deradikalisasi yang dilakukan di bawah pengawasan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, mantan terpidana kasus terorisme dilibatkan diskusi dengan tokoh-tokoh agama dan lembaga swadaya masyarakat seperti Ali Imron, Abdullah Sonata, dan Abu Tholut.
Kalangan akademisi, aktivis mahasiswa, dan komponen lain juga dilibatkan, tetapi saat ini yang sangat strategis adalah peran Ulama karena masalah kuncinya adalah ideologi radikal sebagai sumber terorisme dan kekerasan. Dan cara untuk mengeliminir ideologi radikal, pemerintah telah mengkooptasi para ulama melalui multi-pendekatan, karena masyarakat Indonesia mayoritas karakteristiknya paternalistik maka pendekatan dengan melibatkan para ulama dirasa paling efektif untuk mengintroduksikan pemahaman anti-radikalisme kepada masyarakat luas sehingga terbangun imunitas pada diri masyarakat terhadap pemahaman-pemahaman yang di anggap radikal-fundamentalis.


Penutup
Secara umum penanganan dan pencegahan aksi terorisme dapat berjalan meskipun dengan baik. Upaya pencegahan dan penindakan yang berjalan telah menjadikan terorisme benar-benar sebagai musuh bersama masyarakat sehingga kualitas terorisme menjadi menurun, kendati kuantitas justru semakin meningkat. Hal demikian diakibatkan perang melawan terorisme pada dasarnya adalah perang melawan hati. Oleh karenanya, strategi menanggulangi terorisme harus mengintegrasikan antara strategi politik, strategi ekonomi, strategi sosial, dan strategi budaya, dengan mengedepankan aspek religiusitas dan penghormatan atas HAM.






DAFTAR PUSTAKA


Buku
A. Hogg dan Dominic Abrams, Michael. Social Identification: A Social Psychology of Intergroup Relations and Group Processes. London: Roudlege, 1988.
Adjie S. Terorisme. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005.
Crelinsten, Ronald. Counterterrorism. Cambridge: Polity Press, 2009.
Hardiman, F. Budi. Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi. Jakarta: Imparsial, 2005.
Hasyim Assagaf, Muhammad. Muhammad Sebagai Pemimpin Militer. Jakarta: YAPI, 1990.
Ibn Manshur al-Fāriqī al-Misrī, Abī al-Fadl Jamāluddīn Muhammad ibn Mukrim. Lisān al-Ārāb. Beirut: Dār Sadir, 1410 H/ 1990 M.
Imron, Ali. Ali Imron Sang Pengebom. Jakarta: Republika, 2007.
Jalil Salam, Abdul. Polemik Hukuman Mati di Indonesia Perspektif Islam, HAM, dan Demokratisasi Hukum. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010.
Khaliq Ridwan, Nur. Regenerasi NII Membedah Jaringan Islam Jihadi Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2008.
Khamdan, Muh. Pesantren di Dalam Penjara. Kudus: Parist, 2010.
Khamdan, Muh. HAM Bagi Narapidana. Kudus: Parist, 2011.
Khamdan, Muh. Pesantren Di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Sebuah Model Pendidikan Pesantren Dalam Upaya Menanggulangi Kekerasan di Lembaga Pemasyarakatan, Penelitian Kompetetitif. Jakarta: Pusat Kehidupan Beragama Balitbang Kementerian Agama RI, 2010.
Kuper dan Jessica Kuper, Adam. The Social Science Encyclopedia. London: Routledge, 1996.
Mohindra, Maj. Gen. S. Terrorist Games Nations Play. New Delhi: Lancer Publisher Pvt, 1991.
O. Sears, David. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga, 1994.
Samudra, Imam. Aku Melawan Teroris. Solo: Jazera, 2004.
Tasmara, Toto. Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intellegence) (Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Wilkinson, Paul. Terrorism and the Liberal State. London: The Macmillan Press Ltd., 1977.


Media Massa
Kompas, 22 Maret 2010.
Kompas, 24 Mei 2011.
Majalah Tempo, Edisi 16-22 Agustus 2010.


Peraturan
UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Perpu Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak pidana Terorisme
Perpu Nomor No 2 tahun 2002 tentang pemberlakuan Perpu Nomor 1 tahun 2002



[1] Jaringan teroris yang menyebabkan munculnya istilah Islam jihadi di Indonesia dalam laporan International Crisis Group (ICG) wilayah Asia Tenggara merupakan daur ulang atau regenerasi dari gerakan NII. Nur Khaliq Ridwan, Regenerasi NII Membedah Jaringan Islam Jihadi di Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2008), 39-48.

[2] Dalam penanganan terorisme kurun wktu 2010, Detasemen Khusus 88 telah menewaskan 28 orang yang terduga teroris dan sekitar 600 orang ditahan. IAM, “28 Orang Terduga Teroris Tewas”, Kompas, 24 Mei 2011.

[3] Pada 2008, hanya 3 orang pelaku bom Bali (2002) yang dieksekusi mati, yaitu Imam Samudera, Amrozi, dan Mukhlas alias Ali Gufron. Abdul Jalil Salam, Polemik Hukuman Mati di Indonesia Perspektif Islam, HAM, dan Demokratisasi Hukum (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010), 389-397.

[4] Muh. Khamdan, Pesantren di Dalam Penjara (Kudus: Parist, 2010), 69.

[5] NTA/INA, “Eks Napi Didalami”, Kompas, 22 Maret 2010.

[6] David O. Sears, Psikologi Sosial (Jakarta: Erlangga, 1994), 115.

[7] Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intellegence) (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 143.

[8] Adjie S, Terorisme (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), 11

[9] Ronald Crelinsten, Counterterrorism (Cambridge: Polity Press, 2009), 1

[10] Adam Kuper dan Jessica Kuper, The Social Science Encyclopedia (London: Routledge, 1996), 872

[11] Abī al-Fadl Jamāluddīn Muhammad ibn Mukrim ibn Manshur al-Fāriqī al-Misrī, Lisān al-Ārāb (Beirut: Dār sadir, 1410 H/ 1990 M), 97.

[12] Paul Wilkinson, Terrorism and the Liberal State (London: The Macmillan Press Ltd., 1977), sebagaimana dikutip oleh F. Budi Hardiman, Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi (Jakarta: Imparsial, 2005), 5.

[13] Perpu Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak pidana Terorisme dan Perpu Nomor No 2 tahun 2002 tentang pemberlakuan Perpu Nomor 1 tahun 2002, yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

[14] Michael A. Hogg dan Dominic Abrams, Social Identification: A Social Psychology of Intergroup Relations and Group Processes (London: Roudlege, 1988), 8

[15] Muhammad Hasyim Assagaf, Muhammad Sebagai Pemimpin Militer (jakarta: YAPI, 1990), 26

[16] Imam Samudra, Aku Melawan Teroris (Solo: Jazera, 2004), 108.

[17] Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom (Jakarta: Republika, 2007), 41-71.

[18] Maj. Gen. S. Mohindra, Terrorist Games Nations Play (New Delhi: Lancer Publisher Pvt, 1991), 37

[19] Mantan aktivis NII KW 9 yang kemudian memisahkan diri.

[20] Sekjen CeDSoS (Center for Democratic and Social Justice Studies) Jakarta

[21] Penulis buku Geger Talangsari: Serpihan Darul Islam (Jakarta: Balai Pustaka, 2001)

[22] “Menumpang Momentum Renville”, Majalah Tempo, Edisi 16-22 Agustus 2010, 44

[23] Jawa Barat sebagai ibu kota NII, kemudian diikuti Sulawesi Selatan (1952) dipimpin Kahar Muzakkar dan di Aceh (1953) di bawah pimpinan Daud Beureuh. Nur Khaliq Ridwan Regenerasi NII Membedah Jaringan Islam Jihadi Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2008), 59

[24] “Upaya Hampa Natsir”, Majalah Tempo, Edisi 16-22 Agustus 2010, 46

[25] “Jihad Sebatang Korek”, Majalah Tempo, Edisi 16-22 Agustus 2010, 74

[26] Nur Khaliq Ridwan, Regenerasi NII Membedah Jaringan Islam Jihadi Indonesia, 110-155

[27] Muh. Khamdan, HAM Bagi Narapidana (Kudus: Parist, 2011), 77-80

0 komentar:

Post a Comment